Konflik Wilayah 5.800 Km Persegi Di Tolinggula

LINTAS PERISTIWA (LIGO) – Konflik tapal batas dua Desa Papualangi dan Cempaka Putih Kecamatan Tolinggula Kabupaten Gorontalo Utara diklaim pemerintah Sulawesi Tengah akan masuk di wilayah Sulawesi Tengah. Klaim tersebut menuai banyak kecaman, aksi dan penolakan warga Kecamatan Tolinggula.

“Saat itu kan Pemerintah Sulteng (Sulawesi Tengah) mengklaim bahwa Desa Cempaka Putih dan Papualangi ini masuk di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah” ujar Syahril Yusuf yang akrab disapa Sahril, yang juga warga Tolinggula dan Koordinator aksi pal batas saat dihubungi via telepon pada 7 September 2018.

Sahril menjelaskan bahwa Pemerintah Sulawesi Tengah mengklaim sampai di Dusun Sipatana Desa Polahu’a Tolite Jaya dan Dusun Polahua Tolinggula Pantai yang juga merupakan akses jalan menuju salah satu desa di wilayah Sulawesi Tengah yakni Desa Ungu Kecamatan Palele.

Hal ini bukan tanpa alasan, bahwa versi Pemerintah Sulawesi Tengah wilayah itu masuk di wilayah agrarian bahwa dua desa tersebut akan dijadikan sebagai wilayah agraria Buol. Dan oleh sebeb itu Pemerintah Sulteng mengajukan kepada Kementerian Dalam Negeri.

Pada tanggal 4 Mei 2018 tim peninjau Kementerian Dalam Negeri meninjau lokasi titik koordinat untuk memastikan wilayah tersebut berada di punggung gunung atau tidaknya sebagai wilayah Sulawesi Tengah.

Kata Rizal Yunus Kune selaku Camat Tolinggula dihubungi tepisah pada 8 September. Klaim ini menuai aksi damai penolakan warga dan pemerintah Tolingula, aksi pertama 3 Mei diikuti kurang lebih 2.000 orang, dan aksi kedua 5 September diikuti warga kurang lebih 4.000 orang, pada aksi itu wilayah dua Desa yang diklaim merupakan wilayah berada dipunggung gunung.

Rizal menambahkan, Mengacu pada keputusan Keresidenan Wanado No. 12 November 1898, Nomor Surat 700. Dan dua Desa ini berada di punggung gunung dari Tanjung Kelapa menuju punggung gunung Ilap sampai Gunung Pangga Z yang berada di wilayah Laut Selebes.

Kata Syahril tim peninjau Kementerian Dalam Negeri dari Tanjung Ilap di Pal Batas Utama (PBU) 1 sampai PBU 3 sudah masuk di wilayah Gorontalo Utara.

Pernyataan itu tidak mengurungkan niat Pemerintah Sulawesi Tengah untuk menguasai wilayah seluas kurang lebih 5.800 km persegi dari perbatasan kedua daerah.

“Kementerian Dalam Negeri akui bahwa itu wilayah dari Gorontalo Utara, tapi Pemerintah Sulawesi Tengah menegaskan Papualangi dan Cempaka Putih itu akan masuk di wilayah Sulawesi Tengah berdasarkan hukum agraria” kata Sahril.

Ditinjau dari legalitas hukum adalah wilayah Gorontalo. Dan secara sosiologis bahwa wilayah tersebut dapat dikatakan sebagai sentral perekonomian bagi masarakat.

Pengaduan Pemerintah Buol dan LSM Mebrin

Rizal Yunus Kune menjelaskan, Pemerintah Buol dan LSM Mebrin (Madani Buol) mengusulkan kepada Kementerian Dalam Negeri, untuk memindahkan batas pada sungai di puncak gunung. Dengan dasar itu Pemerintah Tolinggula merespon soal usalan yang diajukan Pemerintah Buol dan LSM Mebrin.

Lanjutnya pada tanggal 28 Februari mengadakan pertemuan pertama, kemudian diadakan kembali pada bulan Mei akhir dan terakhir pada 5 September 2018.

Pertemuan pertama disepakati untuk verifikasi tapal batas di wilayah Tolinggula yang akan diklaim sebagai wilayah Kabupaten Buol oleh Kementerian Dalam Negeri yang datang pada 4 sampai 5 Mei lalu.

“Kementerian Dalam Negeri datang untuk melihat tapal batas yang ada, setelah hasil verifikasi hanya PBU 1, 2 dan 9, 10 yang lainya ini tidak dikunjungi. Nah di situ Pal batas 9, 10 ditemukan salah titik koordinat. Nah sehingga itu yang dimusyawarahkan. Justru pada pertemuan terakhir ini Buol mengklaim lagi yang diatas antara Desa Papualagi dengan Cempaka Putih”  jelas Rizal.

Menurut Rizal Pemerintah Buol mengklaim wilayah itu mengacu pada Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor: 59 tahun 1992. Dan Kepmen tersebut melenceng dari hasil Keresidenan Nomor 700 Tahun 1898 dan tidak sesuai dengan Kepmen Nomor 185.5 Tahun 1981 Surat Keputusan tersebut bertolak belakang dan oleh sebab itu Pemerintah Kecamatan Tolinggula mempermasalahkan wilayah tersebut.

“ini yang dipermasalahkan, sehingga kita juga akan mempertahankan dasar yang dibawa, dasar yang sebelumnya” ujar Rizal.

Pemerintah Tolinggula menyepakati untuk melengkapi dokumen-dokumen walaupun belum lengkap sesuai Kepmen 141 tahun 2017 tentang penegasan wilayah. dan itu akan dibawa kepada Kementerian Dalam Negeri sebagai persyaratan pertukaran dokumen soal wilayah yang diklaim, pada tanggal 10 September.

Dalam menghadapi pengesahan pada 10 September mendatang mengumpulkan dokumen-dokumen penting diantaranya: Dokumen Keresidenan Nomor 12 tahun 1898 Nomor surat 700, Kepmen Nomor 185.5 tahun 1981, Kepmen Nomor 59 tahun 1992, dan berkas kesepakatan wilayah oleh Pemerintahan Sulawesi Utara Gubernur Cornelis Jhon Rantung (masa pemerintahan periode 1985-1995 sebelum terpisahnya Sulut dan Gorontalo) dan Gubernur Sulawesi Tengah

Thoriq Modanggu dan Camat Tolinggula hadir pada aksi 5 September yang juga Tim Pengawal Tapal Batas

Selanjutnya dalam permasalahan batas wilayah ini, Pemerintah Tolinggula menyurati Pemerintah Provinsi Gorontalo dan Kementerian, untuk meninjau kembali berita acara yang disepakati pada pertemuan terakhir, yang tidak sesuai dengan peraturan penegasan wilayah Kemendagri Nomor 141 tahun 2017.

“Aturan yang kedua Musyawarah antar Gubernur Gorontalo dan Sulawesi Tengah. Dan itu belum telaksanakan. Apabila persaratan tidak terlengkapi, maka yang memutuskan konflik adalah Kemendagri, dan itu merugikan Gorontalo.” tegas Rizal menekan suara.

Klaim Pemerintah Sulawesi Tengah Lemah

Hal ini merupakan salah persepsi mengenai Kepmen 59. Mengacu Kepmen 59 Pemerintah Sulteng mengkalim wilayah itu setelah melihat titik koordinat. Menurut Pemerintah Tolinggula klaim itu lemah sesuai dengan bukti dokumen dan data sosial milik Pemerintah Tolinggula.

“Kita punya itu lebih kuat, karena dokumen yang begitu valid, sehingga tidak bisa hanya melakukan klaim itu dari Papualangi yang sebelumnya mereka mengklaim wilayah pantai, setelah melihat pal batas mereka klaim lagi yang sebelah atas” kata Rizal.

Klaim dua Desa itu adalah klaim terakhir Pemerintah Sulteng, yang sebelumnya klaim tersebut sampai sebagian 10 Desa.

Ungkap Camat Tolinggula itu, klaim wilayah ini berhubungan dengan Perusahaan Kelapa Sawit, dua bulan sebelum permohonan klaim wilayah oleh Pemerintah Sulawesi Tengah ada sosialisasi perusahaan kelapa sawit dan hal itu di tolak oleh warga Papualangi dan Cempaka Putih.

“Pernyataan yang disampaikan itu, memang Pemerintah Pusat itu kayaknya lebih dominan ke Sulawesi Tengah ke Pemerintah Buol. Ini yang kita khawatirkan, kita waspadai, ada apa sebenarnya ini? ada keberpihakan” tanya Camat Tolinggula saat diwawancarai lintasgorontalo.com via telepon.

Menurutnya keberpihakan Tim Peninjau Pemerintah Provinsi bermohon kepada Kemendagri untuk menganti Tim Peninjau yang di kirim oleh Kemendagri, karna sudah tidak tidak sehat lagi argumen Tim Peninjau dari Kemendagri.

“Kita masyarakat Tolinggula, khususnya Pemerintah Kecamatan, mengharapkan kepada Pemerintah Pusat agar berhati-hati dalam memutuskan ini (memutuskan klaim wilayah), ketika itu salah memutuskan atau merubah batas yang ada maka akan terjadi konflik” tegas Camat Tolinggula diakhir wawancara.

Saat dihubunggi via telepon Marjuki Tometa selaku Kepala Bagian Tata Pemerintah Gorontalo Utara. Dia belum dapat menyampaikan keterangan kepada media soal klaim wilayah yang akan dilakukan Sidang Pengesahan pada 10 September Nanti. Hal ini disampaikan tim masih dirahasiakan.

“Terkait permasalahan itu pak sebenarnya belum bisa sampaikan ke media massa” kata Kabag Tapem kepada lintasgorontalo.com.

Perjanjian Sejarah

Menurut cerita sejarah tradisi lisan atau history Kerajaan bahwa wilayah dua Desa tersebut ditegaskan adalah wilayah yang sudah diahliwariskan oleh dua kerajaan di Gorontalo, yakni mandat Raja Patra Terungku dan Jogugu Kwandang yang di pimpin oleh Hulupang Puti saat itu.

Perjanjian itu telah disepakati sejak 1898 yang disepakati Tilimbongo (Kepala Suku Buol) dan Timhata (Kepala Suku Gorontalo) pada musyawarah antara dua suku tersebut, ditandai dengan pertukaran benda pusaka seperti keris yang diberikan Timohata kepada suku Tilimbongo dan Tilimbongo memberikan pedang kepada Timohata.

Dengan ditandai kesepakatan itu mengartikan bahwa keputusan tersebut adalah saling memberi antara kedua belah pihak. Ketika hujan dan air jatuh di permukaan gunung kemudian mengalir di wilayah Gorontalo maka itulah wilayah Gorontalo, begitu pula dengan wilayah Buol.

Dan kesepakatan itu sudah disumpah kala itu, apabila terjadi hal yang merugikan kedua belah pihak maka akan terjadi pertumpahan darah atara kedua belah pihak.

Seperti itulah sejarah perjanjian dan sumpah orang-orang tua terdahulu mengenai Perjanjian Wilayah yang telah disepakati Timohata dan Tilimbongo.

“Ah itu! (sejarah perjanjian wilayah) yang harus juga dipahami orang-orang Buol, Pemerintah Buol” tegas Camat Tolinggula itu.

Laporan: Elias

Editor: Arlan

Komentar