Penentu Malpraktik Kedokteran Kewenangan Siapa

H. Abdul Madjid Podungge, S.H., M.H.
(Akademisi Universitas NU Gorontalo – Managing Partner Glorios Law Office)

Catatan – ligo.id – Pada pertengahan Bulan Oktober 2021 di Kota Gorontalo terdapat beberapa pemberitaan yang mengejutkan tentang praktik kedokteran pada salah satu Sarana Pelayanan Kesehatan di Gorontalo dan kabarnya menduga oknum dokter di Gorontalo melakukan suatu tindakan yang dikategorikan “malpraktik”.

Hal ini membuat penulis sebagai akademisi sekaligus praktisi hukum tidaklah serta-merta langsung men-“justifikasi” hal tersebut. Kemudian atas pemberitaan tersebut telah dilayangkan suatu klarifikasi dalam bentuk press relese oleh Ikatan Dokter Indonesia Pengurus Wilayah Gorontalo, sehingga dapat mengimbangi pemberitaan yang tidak akan menjadi bias kearah yang tidak diperlukan.

Sehubungan dengan hal tersebut untuk melihat ada atau tidaknya suatu kemungkinan tindakan malparktik kedokteran wajiblah kita membaca dan memahami aturan-aturan terkait dengan hal tersebut.

Di Indonesia kata “malpraktik” tidak terdapat di dalam KBBI, namun terdapat definisi malpraktik menurut Dr. H. Syahrul Machmud, S.H., M.H yakni “setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar”. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah mengatur ketentuan terhadap dokter dan dokter gigi untuk melakukan praktik kedokteran melalui batasan-batasannya.

Baca juga :  Kartini dan Saripa Rahman Hala: Perjuangan dengan Masa Berbeda

Dalam Pasal 1 angka 1 telah dijabarkan mengenai praktik kedokteran adalah “rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya Kesehatan”. Selanjutnya yang dimaksud dengan pasien menurut Pasal 1 angka 10 adalah “setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan Kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi”.

Berdasarkan peraturan inilah seyogyanya kita dapat melihat kewenangan seorang dokter untuk melakukan tindakan pelayanan Kesehatan terhadap seorang pasien.

Selanjutnya masih dalam Undang-Undang tersebut dalam pasal 1 angka 14 menjelaskan “Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah Lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi”, untuk itu penulis memandang jika terdapat adanya kepentingan pasien yang dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran secara normatif patutlah melakukan pengaduan kepada Majelis Kehormatan Dispilin Kedokteran Indonesia (MKDKI) atau jika terdapat Majelis Kehormatan Dispilin Kedokteran Provinsi (MKDKI-P) secara khusus di Provinsi Gorontalo.

MKDKI atau MKDKI-P bertugas menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan serta Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi. MKDKI atau MKDKI-P yang menerima pengaduan akan memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi. Selanjutnya tata cara pengaduan sekurang-kurangnya memuat identitas pengadu, nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan, dan alasan pengaduan.

Baca juga :  Kartini dan Saripa Rahman Hala: Perjuangan dengan Masa Berbeda

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI atau MKDKI-P akan meneruskan hal tersebut kepada organisasi profesi yang dalam hal ini adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam hal ini Pengurus Wilayah Gorontalo. 

Adapun Kemudian Undang-Undang 29 tahun 2004 tersebut menginstusikan kepada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk membuat Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Displin Professional Dokter Dan Dokter Gigi yang mengatur bentuk makna dari kata “pelanggaran disiplin” hal ini terdiri dari 28 bentuk berdasarkan Pasal 3 ayat (2) dan kategori dokter dan dokter gigi dalam peraturan KKI ini tidak hanya terbatas dalam Bahasa itu saja namun termasuk juga dokter spesialis dan dokter gigi spesialis berdasarkan pasal 1 angka 3.

Bahwa penulis mendapatkan kategori pelanggaran displin yang dengan jenis “malpraktik” sebagaimana di dalam pemberitaan yang menyebar pada saat ini, dalam peraturan KKI tersebut terdapat beberapa bentuk yakni menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat Kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien; melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien, melakukan tindakan/asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat, wali, atau pengampunya; atau bentuk lainnya berdasarkan peraturan KKI ini.

Baca juga :  Kartini dan Saripa Rahman Hala: Perjuangan dengan Masa Berbeda

Dengan demikian untuk menyikapi permasalahan yang saat ini berkembang pada bidang praktik kedokteran penulis menghimbau kepada masyarakat untuk menjaga tingkat kepercayaan ”trust” kepada para dokter di Gorontalo sebab para dokter telah diangkat sumpah jabatan profesi berdasarkan pendidikannya yang pasti sangat dijaga dan dipertanggung jawabkan, serta penulis berharap untuk menyerahkan permasalahan ini kepada MKDKI atau MKDKI-P terlebih dahulu untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran disiplin atau “malpraktik” hingga adanya keputusan dan direkomendasikan kepada IDI Pengwil Gorontalo.

Jika pun terdapat pelanggaran disiplin tersebut kita harus melihat sanksi apa yang dijatuhkan oleh MKDKI atau MKDKI-P berdasarkan Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004, sehingga terdapat alasan untuk menempuh upaya hukum baik melalui jalur perdata maupun pidana dan juga agar kita semua akan terhindarkan dari informasi-informasi yang dapat menyesatkan. #red

Komentar