Filipina pada hari Selasa (9/1) mengulangi seruannya untuk memberikan grasi kepada pekerja migran Filipina Mary Jane Veloso yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati di Indonesia, menjelang pertemuan presiden kedua negara tersebut.
Mary Jane ditangkap di bandara Adi Sucipto, Yogyakarta bulan April 2010 dengan 2,6 kg (5,7 pon) heroin di dalam kopernya dan kemudian dijatuhi hukuman mati, namun jadwal eksekusinya pada tahun 2015 ditunda pada menit-menit terakhir setelah Manila meminta agar kasusnya ditinjau ulang.
Menteri Luar Negeri Enrique Manalo memperbarui permohonan Filipina selama bertahun-tahun kepada Indonesia untuk membebaskan Mary Jane kepada rekannya Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi di Manila.
“Posisi kami selalu sama untuk melihat apakah mereka dapat memberikan grasi. Sekarang terserah pemerintah mereka (Indonesia),” katanya pada konferensi pers setelah pertemuan tersebut.
Mary Jane bersikukuh bahwa dia tidak tahu koper yang diberikan kepadanya oleh perekrutnya berisi obat-obatan terlarang. Pengacaranya berpendapat bahwa dia diperdagangkan oleh seorang Filipina bernama Maria Cristina Sergio, yang ditangkap di Filipina pada tahun 2015 dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada tahun 2020.
Dalam pernyataan terpisah, juru bicara Departemen Luar Negeri Filipina Ma. Teresita Daza mengatakan pemerintah Filipina memberikan bantuan hukum, konsuler dan kesejahteraan kepada Mary Jane.
Pihak departemen “akan terus bekerja sama dengan Departemen Kehakiman dalam kasus yang diajukan oleh Veloso terhadap para pelaku (yang menjebaknya),” katanya.
Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo tiba di Manila untuk kunjungan tiga hari pada hari Selasa, di mana ia akan bertemu dengan Presiden Ferdinand Marcos Jr.
Pada bulan Mei tahun lalu, di sela-sela konferensi tingkat tinggi ASEAN di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Marcos secara pribadi mengangkat kasus Mary Jane kepada Widodo, meskipun tidak jelas apakah ia akan melakukan hal yang sama lagi pada minggu ini.
Manalo dan Retno secara bersama memimpin Pertemuan Tingkat Menteri Komisi Gabungan Kerja Sama Bilateral Filipina-Indonesia ke-7, yang bertepatan dengan peringatan 75 tahun hubungan diplomatik kedua negara.
Pertemuan tersebut juga membahas Laut China Selatan, krisis Rohingya dan masalah hak asasi manusia di Gaza.
Retno mengatakan Indonesia siap bekerja sama dengan seluruh negara anggota ASEAN, termasuk dengan Filipina, untuk menyelesaikan kode etik di Laut China Selatan.
Kode etik yang masih terus dinegosiasikan sejak tahun 2002 tersebut dimaksudkan untuk mencegah konflik dan menjaga stabilitas di Laut China Selatan, dimana empat anggota ASEAN – Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam – mempunyai klaim territorial dengan Tiongkok.
Retno mengatakan, Indonesia menyambut baik pernyataan Menteri Luar Negeri ASEAN baru-baru ini tentang menjaga dan mendorong stabilitas kawasan.
“Ini merupakan langkah penting untuk memastikan Laut China Selatan tetap menjadi lautan perdamaian, stabilitas dan kemakmuran,” ujarnya pada konferensi pers.
Indonesia dan Filipina mempunyai keprihatinan yang sama mengenai konflik di Myanmar dan berkomitmen terhadap konsensus lima poin ASEAN untuk memulihkan perdamaian dan demokrasi, katanya.
Para menteri luar negeri juga menyatakan dukungannya kepada Laos, ketua ASEAN untuk tahun 2024, “untuk memfasilitasi lebih banyak dialog dan bantuan kemanusiaan.”
“Sebagai dampak dari krisis ini, kita menyaksikan lonjakan pengungsi Rohingya ke kawasan, termasuk ke Indonesia, sehingga diperlukan kerja sama regional yang lebih kuat untuk mengatasi masalah ini, termasuk akar permasalahannya,” ujarnya.
Komentar