Kata Sugianto Makmur Soal Tudingan Adanya Penimbunan Minyak Goreng: Itu Untuk Industri

Medan – ligo.id – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara (Sumut), fraksi PDI Perjuangan, Sugianto Makmur, menyayangkan tudingan adanya penimbunan minyak goreng di wilayah Deli Serdang.

Pasalnya, dugaan penimbunan minyak goreng non industri sebanyak 1.100 ton, yang disampaikan salah seorang bernama Naslindo Sirait adalah tudingan yang kurang tepat.

“Karena itu adalah buffer stok untuk industri minyak goreng dengan kapasitas 200-300 ton per hari. Migor dengan jumlah 1.000 ton untuk industri bukan masuk kategori penimbunan. Hal yang biasa menyimpan barang dengan jumlah 7-10 hari produksi. Apabila pabrik menyimpan barang sampai 20.000 ton atau lebih, barulah bisa dituding terjadinya penimbunan,” kata Sugianto, kepada www.ligo.id pada Rabu (23/2/2022) sore.

“Akibat tudingan itu, masyarakat resah, sehingga ikut-ikutan menimbun dengan membeli minyak lebih dari kebutuhan. Bahkan tiga sampai empat kali lipat dari kebutuhan. Saya imbau masyarakat tidak panik dan tidak menimbun minyak goreng di rumah masing-masing, karena tidak mungkin pemerintah membiarkan kondisi ini,” tambahnya.

Terkait kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO), Sugianto Makmur menyarankan pemerintah agar merevisinya kembali.

Baca juga :  Bai'at dan Pelantikan Dewan Hakim MTQ ke 55 Kabupaten Asahan

“Hal itu salah satu cara mengatasi kelangkaan minyak goreng (migor) yang terjadi sekarang ini,” katanya.

Dikatakan Sugianto, selama ini, eksportir minyak goreng diwajibkan menjual di dalam negeri dengan harga eceran tertinggi (HET). Celakanya, untuk pabrik yang sama sekali tidak mengekspor, semua penjualan lokal mereka diwajibkan jual dengan HET juga!

“Ada masalah yang mengintai di balik penetapan yang dilakukan pemerintah tersebut di masa mendatang, bisa mengancam produsen minyak goreng, khususnya produsen menengah ke bawah,” ujar anggota Komisi B ini.

Menurut Sugianto, kebijakan DPO/DMO bisa menjadi bumerang bagi perusahaan maupun masyarakat. Karena dengan memaksa menjual minyak goreng sesuai HET, perusahaan akan menanggung kerugian Rp 2.000-Rp 3.000 per kg.

Baca juga :  Wawali Ikuti Upacara Hari Otda ke XXVIII di Surabaya

Beberapa perusahaan produsen minyak goreng, sambung Sugianto, sudah melakukan hal itu, dampaknya perusahaan tersebut terpaksa tutup permanen.

“Saya tidak mau pabrik minyak goreng tutup permanen, karena kebijakan pemerintah memaksa menjual minyak goreng sesuai HET. Perusahaan mana yang mau jual di bawah harga pokok produksi (HPP) terus menerus. Tidak ada untungnya bagi masyarakat dan negara. Bila industri minyak goreng kolaps, akan menimbulkan masalah baru, pengangguran, berkurangnya devisa, kelangkaan minyak goreng dan putusnya rantai ekonomi,” cetusnya.

Untuk itu, Sugianto menyarankan agar pabrikan menyediakan minyak goreng 10% dari total produksi dengan HPP sebagai partisipasi swasta dalam mengatasi krisis. Sepuluh persen minyak goreng dikenakan kepada semua pabrik minyak goreng dan dikemas dengan merk yang ditentukan pemerintah.

Baca juga :  Kesuksesan Pileg dan Pilpres Harus Jadi Contoh pada Pelaksanaan Pilkada

“Namun, apabila HPP masih di atas HET, pemerintah bisa menggunakan pajak ekspor produk sawit dan turunannya untuk mensubsidi harga minyak goreng. Sisanya, dipersilahkan menjual seperti biasa, mau diekspor atau pun domestik dengan harga mereka, sesuai merk masing-masing,” tuturnya. #sdr/fen

Komentar