Investasi IKN Tidak Menarik di Mata Investor

Jakarta – ligo.id – Pengamat Ekonomi menilai hengkangnya investor sekelas Softbank dari proyek IKN Nusantara lantaran tak ada kejelasan soal proyeksi masa depan Ibukota yang ada di Kalimantan tersebut.

Pengamat Ekonomi dari CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan, ada beberapa hal yang menjadikan investor ragu untuk ikut menanamkan modalnya dalam pembangunan IKN tersebut.

Pertama, katanya, berkaitan dengan proposal teknis dan proyeksi.

Menurutnya, belum ada kejelasan di mata investor terkait jumlah proyeksi penduduk di IKN, dimana menurutnya para investor berharap jumlah penduduk yang tinggal di IKN tersebut bisa mencapai 50 juta.

Angka tersebut, menurutnya, tidak akan bisa tercapai hanya dari jumlah aparatur sipil negara (ASN) dan juga keluarga mereka.

Kedua, ujar Bhima, berkaitan dengan situasi dan kondisi makro ekonomi global. Setelah dihantam pandemi COVID-19, dunia kini menghadapi risiko berbeda, yakni dampak invasi Rusia ke Ukraina.

Hal ini, katanya, membuat inflasi dan suku bunga pinjaman secara global naik.

“Kemudian juga ada kekhawatiran karena stabilitas dari politik ini yang membuat investor harus mengkalkulasi ulang seluruh portofolio investasinya. Dalam konteks Softbank karena sebelumnya Softbank lebih terkenal pendanaannya ke perusahaan rintisan, dan belum banyak memiliki pengalaman ke infrastruktur, sehingga wajar apabila Softbank harus fokus kembali kepapada pendanaan perusahaan rintisan atau start up digital,” ungkap Bhima.

Selain kondisi geo politik global, menurut Bhima , resiko kondisi politik di dalam negeri juga tidak luput dari perhatian para calon investor.

Ia menuturkan, meskipun sudah ada kejelasan hukum berupa Undang-Undang (UU) IKN yang sudah disahkan, jika ada perubahan politik maka tidak menutup kemungkinan akan diterbitkan Peraturan Pengganti UU (Perppu) untuk menganulir UU IKN yang sudah disahkan.

“Jadi masih ada risiko politiknya dan diperparah oleh kegaduhan soal perpanjangan masa jabatan Presiden. Kegaduhan ini tidak disukai oleh investor karena menambah tingkat risiko , risiko sosial juga. Jadi kalau ada terpecah pro dan kontra terkait dengan penundaan masa jabatan, jadinya situasi iklim investasinya tidak kondusif,” jelasnya.

Di sisi lain, secara historis pembangunan infrastruktur baik di Indonesia maupun di negara lain mayoritas memang didanai oleh APBN. Sumbangan dari swasta atau dengan mekanisme KPBU biasanya hanya mencapai 12 persen dari total pembiayaan.

Lalu apakah ABPN cukup kuat untuk mendanai pembangunan Ibu Kota Nusantara ini?

Bhima menjawab hal ini akan cukup memberatkan ABPN. Apalagi, APBN juga memiliki banyak fokus untuk membiayai berbagai rencana pembangunan.

“Belanja untuk infrastruktur bukan hanya IKN tapi sudah ada infrastruktur yang sudah berjalan dan membutuhkan banyak pembiayaan dari APBN salah satunya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung,” tambahnya.“

Banyak juga bendungan-bendungan yang membutuhkan dana dari APBN, dan di sisi lain jika pemerintah memaksa dari dana APBN untuk IKN maka konsekuensinya terhadap pembiayaan bunga utang atau beban utang akan meningkat, dan sekarang sudah 30 persen dari total penerimaan pajak habis untuk membayar bunga utangnya saja. Di luar dari pokok utang. Jadi, kalau diserahkan kepada APBN tentunya bukan pilihan yang rasional,” pungkasnya. #red/fen

Komentar