Ketika Dana Pemda Rp233 Triliun Tidur Nyenyak di Bank

Publik dibuat geleng-geleng kepala ketika Kementerian Keuangan merilis fakta bahwa dana pemerintah daerah (Pemda) yang mengendap di bank mencapai Rp233 triliun.

Pertanyaan kemudian muncul, Bagaimana dana sebesar itu bisa “tidur”, padahal masih begitu banyak kebutuhan rakyat yang belum terpenuhi.

Sementara jalan-jalan rusak, sekolah reyot, puskesmas tanpa peralatan memadai, potret buram ini masih mudah ditemui di berbagai penjuru Indonesia.

Inilah ironi pengelolaan keuangan negara: lamban, tidak terarah, bahkan membuka peluang praktik korupsi terselubung.

Transfer dana daerah dari pusat yang diterima Pemda setiap tahunnnya dalam jumlah sangat besar. Namun, realisasi belanja daerah selalu rendah, apalagi di semester pertama.

Perencanaan yang lemah dan birokrasi yang berbelit-belit menjadi alasan klasik yang selalu jadi penghambat.

Uang yang seharusnya membangun infrastruktur, meningkatkan layanan publik, atau memberdayakan UMKM justru dibiarkan “tidur” di bank. Bahkan, sebagian Pemda menjadikan bunga simpanan sebagai sumber pendapatan tambahan daerah.

Uang dari pajak rakyat yang seharusnya berputar untuk kesejahteraan malah dijadikan instrumen keuntungan jangka pendek oleh pemerintah daerah.

Fenomena dana terparkir ini bukan sekadar masalah teknis, tapi juga menandakan politik anggaran daerah yang tidak sehat.

Penyusunan APBD sering hanya bagus di atas kertas, tetapi sulit dieksekusi di lapangan. Kegiatan yang disusun acap kali sekadar memenuhi formalitas, tanpa rancangan implementasi teknis yang jelas.

Setiap akhir tahun, belanja dipaksa digenjot agar serapan dana terlihat optimal. Kualitas dan output jadi korban, angka serapan jadi tujuan utama.

Semakin banyak dana mengendap, artinya semakin lama pula rakyat menunggu jalan desa yang berlubang diperbaiki, sekolah reyot direhabilitasi, atau puskesmas dilengkapi alat kesehatan.

Dana yang mengendap juga berarti perlambatan laju ekonomi daerah. Belanja pemerintah adalah salah satu motor utama penggerak ekonomi masyarakat.

Ketika anggaran tak segera dicairkan, perekonomian lokal pun stagnan: pedagang sulit menjual barang, kontraktor kecil kehilangan proyek, dan lapangan kerja baru tidak tercipta.

Dengan Rp233 triliun yang mengendap di bank, kerugian riil bagi rakyat terjadi: kesempatan memperbaiki kualitas hidup terbuang percuma. Inilah yang disebut opportunity cost—hilangnya manfaat ekonomi yang seharusnya bisa dirasakan masyarakat.

Jika dana tersebut dipakai untuk belanja daerah, bisa terjadi multiplier effect yang mendorong konsumsi domestik hingga dua kali lipat, dan mendorong ekonomi nasional hingga lebih dari Rp400 triliun.

Tak hanya soal efisiensi, fenomena dana mengendap ini juga membuka peluang praktik korupsi terselubung.

Bank mendapat dana segar yang bisa diputar jadi modal, memperoleh keuntungan besar dari bunga, likuiditas, dan nilai aset yang meningkat.

Tak jarang, hubungan Pemda dan bank ini dibumbui kickback berupa fasilitas eksklusif, wisata, sponsorship, hingga suap yang terselubung dalam hubungan resmi.

Semua sulit dideteksi, sebab kerap dibungkus rapi di bawah nama kerja sama BUMD.

Kebiasaan buruk ini terus terjadi karena disiplin fiskal lemah dan akuntabilitas minim. Selama tidak ada aturan tegas yang mengikat, Pemda akan terus nyaman dengan pola seperti ini.

Tak ada insentif untuk berbenah jika praktik ini masih menguntungkan kelompok tertentu.

Publik kemudian bertanya, apakah ada solusi dan jalan keluar dari carut marutnya tata kelola APBD di daerah yang rawan disalahgunakan.

Pemerintah pusat harus lebih tegas dan adil dalam mengawasi dana daerah. Insentif fiskal perlu diberikan bagi daerah yang mampu merealisasikan anggaran dengan baik.

Sebaliknya, Pemda yang lalai wajib mendapat disinsentif dan diumumkan secara terbuka ke publik.

Peningkatan kapasitas SDM juga penting. Banyak pejabat daerah masih gagap dalam perencanaan anggaran.

Digitalisasi sistem keuangan harus ditingkatkan agar penggunaan dana bisa dipantau dan diawasi rakyat.

Rp233 triliun yang mengendap bukan sekadar salah kelola, melainkan simbol pengkhianatan terhadap amanah rakyat.

Praktik ini membuka peluang korupsi baru, di mana uang pajak dari keringat rakyat alih-alih kembali sebagai layanan publik, justru mandek karena kelemahan birokrasi—dan sangat mungkin telah jadi “alat main” elite pemegang kekuasaan.

Demokrasi akan bermakna jika seluruh sumber daya benar-benar digunakan untuk rakyat.

Selama budaya buruk ini bertahan, Indonesia hanya akan jalan di tempat dan sulit menjadi negara maju. Dana rakyat tidur nyenyak di bank daerah, dan sebagian bisa jadi telah bocor lewat gratifikasi.

Saatnya Pemda sadar: mengendapkan dana bukan hanya menunda kesejahteraan rakyat, tetapi juga memancing peluang korupsi yang semakin merusak integritas negara.

Komentar