Papua – ligo.id – Sejumlah perwakilan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan.
Mereka mengklaim daerah otonomi baru Papua adalah aspirasi masyarakat. Namun Ketua MRP mengklaim delegasi Papua tersebut ilegal.
Disisi lain, Bupati Jayapura Mathius Awoitauw menegaskan, permintaan pemekaran daerah otonomi baru (DOB) Papua merupakan aspirasi murni masyarakat Papua.
Bahkan ia mengatakan bahwa Papua Selatan sudah berjuang selama 20 tahun untuk bisa menjadi daerah sendiri.
“Jadi ini bukan hal yang baru muncul tiba-tiba. Tapi ini adalah aspirasi murni baik dari Papua Selatan, maupun Tabi, Saereri, juga La Pago dan Mee Pago. Aspirasi yang kita dorong adalah berdasarkan wilayah adat, bukan berdasarkan demo-demo di jalan, bukan,” kata Mathius.
“Jadi pada akhirnya, masyarakat itu yang berharap bagaimana DOB ke depan dan itu bisa menjadi harapan mereka untuk merubah percepatan kesejahteraan di Papua, dan Papua Barat,” tambahnya.
Mathius mengungkapkan hal tersebut usai pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) di Istana Kepresidenan Bogor.
Lebih lanjut Mathius menjelaskan, pertemuan ini dilakukan untuk mengklarifikasi mengenai simpang siurnya informasi mengenai penerapan pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) di Provinsi Papua dan di dalamnya adalah DOB khusus untuk di Provinsi Papua, yakni ada DOB Papua Selatan, Papua Pegunungan Tengah dan Papua Tengah.
Mathius juga mengatakan bahwa UU Otsus bersifat mengikat di seluruh tanah Papua, sehingga kehadiran UU ini akan memberikan kepastian hukum.
Selain itu juga memberikan kepastian hak untuk mengelola ruang-ruang yang dimiliki oleh masyarakat adat berdasarkan tujuh wilayah ada di tanah Papua.
Maka dari itu, pihaknya melihat bahwa permasalahan otsus tersebut bukan pada pemekaran, tetapi lebih kepada implementasi pelaksanaannya.
“Kita butuh itu, kepastian, karena itu kalau pemekaran itu masalah administrasi pemerintahan, tapi ke Papua itu diikat dengan UU Otsus. Persoalan kita adalah implementasinya, harus konsisten baik itu pemerintah pusat, maupun pemerintah provinsi, pemerintah daerah. Di situ persoalaannya sebenarnya. Jadi masyarakat Papua memang banyak melihat bahwa ini belum maksimal,” tuturnya.
Ia berharap revisi Otsus bisa sesuai dengan harapan masyarakat, terutama yang terkait dengan sektor penguasaan lahan.
“Konflik Papua sebenarnya masalah lahan, karena itu perlu ada kepastian di sini. Dan ini bisa menyelesaikan, mengurangi persoalan di Papua, dan kepastiannya hanya melalui UU Otsus,” katanya.
Selain itu, tambah Mathius, daerah otonomi baru mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, karena secara geografis, memang ini menjadi hambatan utama.
“Berapa pun dananya diturunkan dalam otsus, tapi kalau geografis yang sulit, seperti yang ada sekarang, itu tetap akan mengalami hambatan luar biasa. Karena itu DOB baru adalah solusi untuk bisa mempercepat kesejahteraan Papua dan Papua Barat,” jelasnya.
Delegasi Ilegal
Terpisah, Ketua MRP Timotius Murib menyesalkan adanya pertemuan Presiden Jokowi dengan delegasi MRP Papua Barat dan sejumlah orang yang merupakan anggota MRP Papua tersebut.
“Kami menyesalkan adanya pertemuan Presiden yang digunakan untuk memberi penjelasan sepihak dan memberi kesan MRP mendukung kebijakan pemerintah pusat terkait UU Otsus Jilid II dan DOB. Padahal dua kebijakan tersebut tengah kami uji materi di MK. DOB pun sedang diprotes berbagai lapisan masyarakat,” ungkap Timotius dalam siaran persnya.
Ia menegaskan, MRP sampai detik ini masih konsisten menanti putusan MK. Selain itu, Timotius menekankan MRP yang hadir dalam pertemuan dengan Jokowi tidak bisa dikatakan mewakili MRP.
“Itu oknum-oknum yang mengatasnamakan MRP. Perbedaan pendapat tentu wajar dalam suatu lembaga. Tapi kehadiran mereka seharusnya melalui mekanisme resmi lembaga. Mereka tidak pernah diberi mandat oleh pimpinan MRP untuk bertemu Presiden. Dugaan kami ada setting-an pihak tertentu,” jelasnya.
Hal ini diyakini oleh Timotius karena tidak ada perjalanan dinas dari lembaga MRP. Maka dari itu, delegasi MRP yang hadir tidak dapat digunakan oleh pemerintah sebagai orang-orang yang mewakili lembaga MRP.
“Mereka tidak memiliki Surat Perintah Tugas (SPT) atau Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD). Yang kami sesalkan adalah pertemuan itu semakin menegaskan upaya pecah belah,” tegasnya. #irn/rd
Komentar