LIGO.ID – Dua wilayah di Provinsi Gorontalo yakni Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango belakangan ini terus mengalami bencana banjir secara beruntun akibat luapan air Sungai Bone.
Menurut Kepala Balai Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Bone Bolango, M. Tahir Palawa, penyebab utama banjir di dua daerah tersebut adalah intensitas curah hujan yang tinggi serta wilayah topografi perbukitan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bone.
“Jujur kita sampaikan hulu DAS Bone itu berada di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) kalau dilihat dari penutupan lahan-nya masih cukup bagus,” kata M Tahir pada webinar bertema ‘Mengurai Banjir di Provinsi Gorontalo. Selasa lalu (28/7).
Tahir menjelaskan, DAS Bone memiliki luas wilayah 133.078 hektare dengan panjang sungai 150 Kilometer, serta lebar rata-rata sungai 75 meter. DAS Bone juga melintasi sebagian wilayah Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Gorontalo Utara, Bone Bolango dan Kota Gorontalo.
Sehingga, ketika hujan dengan intensitas tinggi, menyebabkan DAS Bone tak mampu menahan debit air, dan menyebabkan banjir di sebagian wilayah kota Gorontalo dan Bone Bolango. Terlebih, curah hujan pada 11 Juni 2020 lalu, mencapai 484 mm.
Adapun faktor lain yang menyebabkan banjir, adalah debit air di sungai yang mencapai 4,476 m3/detik dari rata-rata koefisien aliran permukaan 0,2 m3/detik, ditambah lagi dengan jumlah belokan sungai, sumbatan sungai, pendangkalan sungai dan sodetan sungai.
“Perlu saya sampaikan DAS Bone ini memang sangat rawan terhadap banjir karena bentuk DAS-nya memanjang, nilai Rc-nya 0,35, kemudian puncak datangnya terlalu cepat.” ujarnya.
Menurutnya, wilayah aliran sungai perlu penanganan dan pengelolaan secara bersama, Karena banyak kepentingan yang berkaitan dengan DAS Bone, baik Pertambangan, Pertanian, Hutan Tanaman Industri (HTI), serta Pembalakan Liar.
“Mengenai pengelolaan DAS, jujur sampai dunia kiamat kalau hanya dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) dengan BPDAS dan KLHK kegiatan ini (Pengelolaan DAS) saya berkeyakinan sampai dunia kiamat tidak akan selesai,” tuturnya.
“Berdasarkan inventarisasi, bahwa penutupan lahan serta vegetasi hutan di wilayah DAS Bone masih 80%. Tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas pertanian masyarakat di wilayah hulu mencapai kemiringan 30% lebih tanpa memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air.” lanjut Tahir menjelaskan.

Sementara itu, Direktur Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) Gorontalo, Nurain Lapolo menjelaskan, banjir yang terjadi wilayah Bone Bolango dan kota Gorontalo, akibat kerusakan pada Hulu Sungai, dan kerusakan kawasan hutan, serta aktivitas pertambangan dan pertanian yang menyebabkan terjadinya pendangkalan sungai.
“Yang banyak itu adalah aktivitas masyarakat yang kurang baik dalam memperlakukan lingkungan. Banjir juga dipengaruhi oleh kegiatan manusia atau pembangunan yang kurang memperhatikan kaidah konservasi, seperti pertanian yang kurang tepat,” jelas Nurain dalam Webinar.
Nurain menambahkan, kebijakan pemerintah provinsi Gorontalo yang telah melakukan alih fungsi tanah di kawasan TNBNW seluas 14.000 hektare, seperti yang tertuang dalam SK.325/Menhut-II/2010, mendukung kondisi kerusakan hutan, sehingga Japesda menduga bahwa SK tersebut diperuntukan untuk aktivitas PT. Gorontalo Mineral di kawasan hutan.
“Pemerintah perlu melakukan evaluasi aktivitas perusahaan tambang dan HTI di Provinsi Gorontalo yang juga berkontribusi besar terhadap banjir di Gorontalo. Bahkan perlu adanya moratorium perizinan konversi lahan,” lanjutnya.
Dalam kesempatan tersebut, Nurain juga merekomendasikan kepada pemerintah agar membuat kebijakan adaptasi iklim, dan melakukan rehabilitasi serta konservasi di wilayah DAS Limboto Bolango Bone. (ed/red)
Komentar