Jakarta – ligo.id – Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej mengungkapkan secara blak-blakan misi di balik terbentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang saat ini ramai dibicarakan publik.
Eddy menyebutkan terdapat 5 misi di balik terbentuk KUHP baru.
“Pertama, konsolidasi dalam pengertian bahwa KUHP mencoba menghimpun kembali berbagai ketentuan hukum pidana di luar KUHP untuk dimasukkan ke dalam KUHP” ujar Eddy dalam webinar LP3ES bertajuk “KUHP 2022 dan Pertaruhan Negara Hukum Demokratis”, Minggu (11/12/2022).
Karena itu, kata Eddy, pemerintah dan DPR tidak pernah menyebutkan KUHP baru ini sebagai kodifikasi, tetapi rekodifikasi.
Hal ini, kata dia, tidak terlepas dari perkembangan kejahatan yang memiliki banyak dimensi baru pasca Perang Dunia II.
Akibatnya, KUHP saat itu, dianggap tidak bisa menanggulangi semua kejahatan tersebut sehingga terjadi proses dekodifikasi atau mengeluarkan beberapa ketentuan di dalam KUHP menjadi undang-undang tersendiri, seperti kejahatan jabatan menjadi UU Korupsi dan kejahatan penggunaan obat-obat terlarang menjadi UU Narkotika.
“Yang terjadi dalam KUHP kita ini ada rekodifikasi, yakni kita menghimpun kembali ketentuan-ketentuan yang berserakan di luar ke dalam suatu kitab undang-undang tetapi kemudian dia tidak menegasikan undang-undang yang bersifat khusus” jelas Eddy.
Misi kedua, kata Eddy adalah modernisasi. Pasalnya, KUHP yang lama susah berumur 222 tahun dengan paradigma hukum pidana pembalasan.
“Jadi, dia (KUHP lama) menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam. Sementara di dalam KUHP baru ini, kita merujuk pada paradigma hukum pidana modern, yaitu keadilan korektif, keadilan restoratif dan keadilan rehabilitatif” tutur dia.
Misi ketiga adalah harmonisasi. KUHP baru, kata Eddy, telah melakukan harmonisasi berbagai ketentuan pidana di luar KUHP dengan model pidana dalam KUHP baru.
Eddy mencontohkan KUHP baru telah mencabut ketentuan penghinaan dan pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi dan Elektronik (UU ITE).
“Itu mengapa kemudian KUHP ini lalu mencabut Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE yang selama ini menjadi momok karena UU ini sangat mudah dipakai untuk menangkap dan menahan seseorang” tandas dia.
Misi keempat, lanjut Eddy, adalah dekolonisasi atau menghilangkan nuansa kolonial di dalam KUHP. Hal tersebut yang membuat banyak perubahan dalam Buku I (ketentuan umum) dan Buku II (tentang tindak pidana) KUHP.
Menurut Eddy, perubahan paling banyak terjadi pada Buku I, sekitar 80-90% mengalami perubahan. Sementara Buku II tidak terlalu banyak mengalami perubahan kecuali menyangkut tiga hal, yakni delik penghinaan, delik kesusilaan, dan delik politik.
“Ini menandakan bahwa sebetulnya hukum pidana itu berlaku universal, bahwa pembunuhan di muka ini, di mana pun adalah kejahatan, penipuan di muka bumi adalah kejahatan, pencurian, pemerkosaan dan lain sebagainya. Saya katakan substansi Buku II, atau substansi KUHP di muka bumi ini sama, kecuali dalam tiga hal, yaitu delik politik, delik kesusilaan, dan delik penghinaan” terang dia.
Misi terakhir, atau kelima, kata Eddy, memastikan KUHP hasil revisi merupakan KUHP yang benar-benar nasional.
“Betul-betul kita menyusun KUHP nasional yang kemudian itu tentunya berorientasi pada Pancasila, UUD 1945, dan juga latar belakang kehidupan sosial kemasyarakatan kita” pungkas Eddy. #
Komentar