Ini 5 WNI yang Terlibat sebagai Foreign Terrorist Fighters

Jakarta – ligo.id – BNPT merilis profil singkat kelima WNI yang menjadi target dari kebijakan pembekuan aset oleh Departemen Keuangan Amerika Serikat.

Dwi Dahlia Susanti yang berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat, Dini Ramadhani asal Tegal, Jawa Tengah dan Muhammad Dandi Adhiguna memang bergabung dengan ISIS dan saat ini posisi mereka masih berada di perbatasan Turki dan Suriah.

Sementara itu, Rudi Heryadi asal Sawangan, Depok, Jawa Barat dideportasi dari Turki pada 27 September 2019 dan sudah menjalani proses pidana dengan vonis 3 tahun 6 bulan dan keluar bebas bersyarat pada 9 Mei 2022 lalu, bertepatan dengan dikeluarkannya statemen dari Kementerian Keuangan AS ini.

Sedangkan Ari Kardian ditangkap pada 2016 lalu, dengan kasus memfasilitasi pengiriman orang ke Suriah dan saat ini juga sudah bebas setelah menyelesaikan masa hukumannya.

Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen. Pol. Dedi Prasetyo meneruskan informasi dari Detasemen Khusus Anti Teror (Densus 88) bahwa kelima nama tersebut sudah lama berada dalam pemantauan polisi.

“Khusus yang diduga masih berada di luar negeri akan dikomunikasikan dengan Hubinter (Hubungan Internasional) NCB (National Central Bureau-Interpol Indonesia) dengan Interpol di negara-negara yang diduga menjadi tempat WNI tersebut berada,” terang Dedi.

Pengamat Terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh, Al Chaidar Abdurrahman Puteh mengatakan, Dwi Dahlia Susanti dan Dini Rahmadani memang memiliki tugas untuk menyelundupkan anak-anak dari kamp untuk dijadikan petarung ISIS.

“Dini Ramadhani dan Dwi Dahlia Susanti tadinya keluar masuk Turki dan Suriah untuk mengambil anak-anak ISIS dari kamp Deir Arzour dan Al Hol,” ujar Al Chaidar.

Sementara analis dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Dyah Ayu Kartika mengatakan, memang Pemerintah Amerika Serikat beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang intinya melarang warganya untuk melakukan transaksi dengan mereka yang membantu ISIS dan kelompok militan lainnya.

Mereka, kata dia, sebelumnya juga memberikan sanksi kepada lembaga amal yang diyakini terlibat dalam pendanaan terorisme, seperti Februari lalu, pada World Human Care, sebuah LSM yang dibentuk oleh Majelis Mujahidin Indonesia.

“Kalau untuk individu sebenarnya agak jarang, karenanya kami masih mendalami terkait kelima nama ini,” ujar Dyah.

Dalam sebuah laporannya IPAC menyebutkan, daftar nama yang ditetapkan sebagai teroris global oleh Amerika Serikat sering kali membingungkan dan out of date karena mereka melewatkan nama teroris-teroris yang telah menjalani persidangan karena kejahatan besar dan malah memasukkan nama-nama yang tidak terlibat dalam kekerasan ke dalam daftar.

“Birokrasi diduga menjadi salah satu faktor penyebabnya,” kata laporan tersebut

Menurut laporan IPAC, mereka yang masuk dalam daftar Departemen Keuangan AS ini nantinya juga masuk dalam daftar PBB.

“Daftar ini bisa mempersulit kinerja pemerintah Indonesia dalam melakukan proses rehabilitasi dan reintegrasi jika nama yang dimasukkan adalah nama teroris lama yang sudah menjalani hukuman dan sudah dibebaskan,” demikian isi laporan IPAC.

Laporan IPAC yang didasarkan pada data tahun 2019 atas warga Indonesia di kamp dan penjara yang dijalankan oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) Kurdi menyebutkan bahwa antara Maret hingga Juni 2019, terdapat 555 WNI di kamp dan penjara SDF, termasuk 367 anak-anak.

Di antara anak-anak, sekitar 277 berusia di bawah sepuluh tahun dan 34 tanpa pendamping. Pada Juni 2021, ada kurang dari sepuluh anak yang tidak didampingi dan di bawah usia sepuluh tahun yang dapat diprioritaskan untuk dipulangkan. #cak/rd

Komentar