Menggugat Kebebasan Akademik di Kampus (Merdeka)

Jakarta – ligo.id – Kampus Merdeka adalah program unggulan Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim. Ada empat poin utama dalam program ini, yang memperkuat otonomi kampus dan memperluas kesempatan belajar mahasiswa.

Namun, jangankan merdeka dan otonom, sejumlah akademisi merasa belum sepenuhnya memiliki kebebasan akademik.

Kasus yang menimpa DR. Basuki Wasis, dosen kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) bisa menjadi gambaran rendahnya kebebasan akademik.

Pada 2018, Basuki diminta menjadi saksi ahli oleh KPK, dalam persidangan yang menyeret Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Basuki diminta menghitung kerugian lingkungan hidup oleh tindak korupsi itu.

Uniknya, kesaksian Basuki di pengadilan yang berupa hasil perhitungan secara ilmiah, justru melahirkan gugatan kepadanya di pengadilan Cibinong.

Belajar dari kasus itulah, Basuki semakin yakin bahwa kebebasan akademik di Indonesia masih butuh perjuangan.

“Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai, melindungi dan memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik. Harus dilindungi, jangan pakai hukum, seperti kasus saya itu,” ujar Basuki.

Basuki berbicara dalam diskusi upaya pelaporan ke PBB terkait kondisi kebebasan akademik di Indonesia, yang diselenggarakan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Rabu (18/5/2022).

KIKA adalah lembaga para peneliti dan akademisi yang peduli dengan hak asasi manusia dan kebebasan dasar, terutama yang terkait dengan kebebasan akademik. Diinisiasi pada 6 Desember 2017, KIKA secara resmi menjadi organisasi yang lebih terkonsolidasi pada 2018.

Laporan Kebebasan Akademik ke PBB

Pada November 2022 nanti, PBB akan menerima Universal Periodic Review (UPR), sebuah mekanisme peninjauan praktik pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).

KIKA bekerja sama dengan lembaga Scholar at Risk (SAR), turut mengirimkan laporan ke PBB, terutama terkait praktik kebebasan akademik di Indonesia.

Ketua KIKA, Dhia Al Uyun, menyebut represi bagi akademisi dan mahasiswa jelas mengancam kebebasan akademik dan perkembangan pendidikan tinggi Indonesia di masa mendatang, dan karena itulah laporan ke PBB penting dibuat.

Dalam pengajuan laporan ke UPR PBB, KIKA dan SAR menyoroti tekanan luas dan tindakan yang ditargetkan oleh aktor negara dan universitas yang menghukum dan membungkam kebebasan berpendapat, penyelidikan, dan ekspresi akademis sejak Maret 2017.

“KIKA dan SAR mendesak negara-negara anggota PBB meminta Indonesia menahan diri dari pengunaan kekerasan atau tindakan hukum yang dimaksudkan untuk membatasi atau menghukum dosen dan mahasiswa dalam pelaksanaan kebebasan akademik dan hak terkait,” ujar Dhia.

Indonesia juga didesak membentuk ombudsman yang bertugas menerima dan menanggapi masalah kebebasan akademik di masing-masing instansi perguruan tinggi.

“Kita juga mendesak penguatan otonomi universitas, mengurangi resiko korupsi, karena kita melihat banyak korupsi terjadi lingkungan universitas, serta menghilangkan 35 persen suara menteri dalam pemilihan rektor,” tambah Dhia yang juga dosen di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.

KIKA dan SAR, kata Dhia, berkomitmen menjaga, melindungi dan mempromosikan kebebasan akademik, otonomi universitas dan hak-hak fundamental bagi civitas akademika.

Upaya ini penting untuk menjaga kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat, dan juga kebebasan akademik itu sendiri. #cak/rd

Komentar