LIGO.ID – Terdapat 50 hoaks hoaks tersebar di media social selama tahapan pilkada hingga 2 Desember lalu yang di temukan oleh Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO). Ariwibowo Sasmito, mengatakan masyarakat masih ada yang terpengaruh hoaks di media sosial terkait pilkada.
“Pemelintiran informasi di media sosial seringkali membuat masyarakat menemui kesulitan dalam memilah informasi yang benar dan tidak, dan karenanya ia berharap literasi media sosial pada masyarakat bisa terus ditingkatkan”. Ungkap Ariwibowo
Ari mengungkapkan hoaks didominasi oleh isu konten palsu sebesar 34 persen, konten yang dimanipulasi 23.4 persen, konten menyesatkan 21.3 persen, konten salah 17 persen, konten tiruan 2.1 persen, serta konten satire 2.1 persen.
Fritz Edward Siregar, Anggota Bawaslu, mengungkapkan ragam hoaks terkait pilkada masih ditemukan hingga menjelang proses pemungutan suara Pilkada 2020.
“Pelanggaran konten internet, isu hoaks sampai kemarin ada 45, antara lain tanggal 9 Desember tidak ada pilkada, pilkada dibatalkan kecuali di Solo dan Medan, kemudian warga yang reaktif tes rapid dilarang ke TPS saat Pilkada, ada juga paslon yang diisukan meninggal,” ungkap Fritz.
Bawaslu juga memaparkan data temuan KOMINFO selama masa Pilkada 2020, 700an konten internet yang diperiksa, 105 iklan kampanye yang aktif selama masa kampanye, dan 220 jumlah link website diminta untuk ditutup atau take down.
Dari ratusan website tersebut, ada 193 tautan yang melanggar UU Pilkada mengenai ‘menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat, dan 15 tautan website mengenai penghinaan seseorang berlandaskan agama, suku, ras, golongan, paslon dan/atau Partai Politik; sedangkan dua tautan website melanggar UU ITE tentang penyebaran berita bohong.
Agus Sudibyo dari Dewan Pers menyoroti tanggung jawab platform media sosial dalam menangani informasi terkait Pilkada. Agus membandingkan regulasi media massa dengan media sosial.
“Menurut task force di Dewan Pers, penegakan hukum atas penyebaran hoaks yang merugikan dan meresahkan masyarakat semestinya menempatkan perusahaan penyedia platform digital sebagai subjek hukum dengan hak dan kewajiban tertentu berdasarkan regulasi. Perusahaan platform media sosial bisa berbisnis di Indonesia tetapi juga harus mengambil tanggung jawab,” tegas Agus. (#c)
Komentar