Vina Cirebon: Agenda Setting atau Tuntutan Keadilan?

DALAM beberapa pekan terakhir, kasus pembunuhaan dan pemerkosaan Vina Cirebon terus menghiasi pemberitaan di berbagai media massa maupun media sosial (medsos). Kasus Vina seolah tidak pernah ada habisnya untuk dibahas dan dikupas setiap waktunya.

Bahkan tak sedikit warganet mulai memiliki sentimen negatif terhadap pengungkapan kasus yang tengah ditangani aparat kepolisian ini.

Warganet menilai kasus ini tak ubah seperti film drama Korea (drakor). Karena terkesan terlalu banyak drama yang dinilai janggal dan di luar nalar logika.

Misalnya, penangkapan Pegi Setiawan alias Perong yang disebut-sebut otak pembunuhaan sadis itu, dianggap sebagai sandiwara aparat. Alasannya pun sangat beragam. Mulai dari ciri-ciri tak sesuai DPO, hingga wajah kepolosan saat yang bersangkutan menggelar jumpa pers bersama para awak media.

Akibatnya, hingga tulisan ini dibuat, kasus pembunuhaan Vina Cirebon 2016 silam, masih terus menjadi buah bibir di seluruh lapisan masyarakat. Menjadi trending topik nyaris berbagai platform media, baik cetak, online, televisi.

Termasuk para warganet pun, ramai-ramai menyorotinya bak sebagai seorang detektif. Ironisnya lagi, momentum ini pun dimanfaatkan banyak pihak dari beragam profesi untuk mencari panggung. Karena kasus ini mampu mencuri perhatian ratusan juta penduduk Indonesia.

Namun di sisi lain, fenomena ini mulai memicu berbagai asumsi liar di tengah masyarakat. Tak sedikit warga yang mulai mencurigai bahwa kasus ini sengaja diangkat untuk mengalihkan perhatian publik terhadap isu-isu seksi di negeri ini, agar masyarakat luput dari perhatiannya.

Hal itu mengingatkan penulis yang pernah menggelar diskusi formal bersama anggota DPR RI. Pada pertemuan itu ia mengingatkan para wartawan harus jeli dan kritis terkait agenda setting.

Wartawan diminta peka terhadap isu-isu yang viral dan tidak terjebak dalam permainan agenda setting yang mungkin dilakukan oleh pemerintah, atau pihak lain yang memanfaatkan situasi saat ini.

Kasus Vina Cirebon bisa saja menjadi alat untuk mengalihkan perhatian publik dari isu yang lebih sensitif.

Bayangkan isu Pilkada Serentak 2024 yang akan diikuti kurang lebih 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Masih kalah pamor oleh isu Vina Cirebon, dalam hal bobot perhatiannya.

Termasuk kasus dugaan korupsi timah senilai Rp271 triliun yang menyeret nama Harvey Moeis, suami Sandra Dewi, hingga crazy rich Helena Lim.

Dalam kasus korupsi tata niaga di PT Timah Tbk. (TINS) ini, negara dirugikan dengan angka fantastis, yakni Rp271 triliun. Wow kasus sebesar ini masih kalah oleh kasus Vina Cirebon.

Diduga banyak yang terlibat dalam pusaran kasus besar ini. Bukan hanya itu, sidang kasus korupsi eks Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL) pun masih kalah gregetnya.

Ketidakpercayaan dan keraguan publik terhadap penyelidikan dan penyidikan aparat kepolisian pun, menjadi penyebabnya kasus ini tak kunjung berhenti.

Sehingga spekulasi kasus Vina Cirebon ini diduga pengalihan isu terhadap kasus yang lebih besar. Karena tak bisa dipungkiri bahwa tentunya ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan pribadi atau kelompok.

Mereka bisa saja memainkan peran ini, untuk membesar-besarkan isu ini, agar publik teralihkan dari isu-isu lain yang mungkin mengancam kepentingan mereka.

Namun dibalik adanya pengalihan isu, kasus Vina Cirebon pun, masih memiliki daya tarik yang sensasional.
Kasus ini memiliki unsur-unsur yang menarik perhatian, baik drama, konflik, dan emosi yang terlibat dalam cerita ini membuat publik masih menyimpan penasaran dan ingin terus mengikuti perkembangan beritanya.

Diduga media arus utama dan medsos pun tak ragu mengeksploitasi aspek sensasional dari kasus ini untuk mendongkrak rating dan jumlah pembaca.

Rumitnya alias pabaliutnya kasus ini, tak lepas dari peran media massa dan kehadiran medsos yang ikut memainkan peran besar dalam viralnya kasus ini. Platform medsos seperti Twitter, Facebook, dan Instagram. Hashtag dan trending topics membuat kasus ini semakin sulit diabaikan.

Apalagi dalam kasus ini melibatkan para tokoh publik dan influenceryang ikut manggung dan ikut berkomentar, menambah liarnya kasus ini.

Seperti pengacara kondang Hotman Paris, tokoh agama Ustad Adi Hidayat, Polda Jabar, para jenderal polisi, dan deretan tokoh nasional lainnya.

Bahkan terbaru Presiden Joko Widodo ikut bersuara. Orang nomor satu di negeri ini meminta agar Kapolri agar mengawal kasus ini, serta mengusutnya secara tuntas dan transparan.

Tak hanya itu, diangkatnya kasus ini paling signifikan diangkat dalam layar lebar. Film berjudul Vina: Sebelum 7 Hari, saat ini sudah ditonton oleh 5,5 juta penonton di bioskop.

Pendapatan dari film ini mencapai kurang lebih Rp75 miliar, menjadikannya salah satu film dengan jumlah penonton terbanyak dan keuntungan yang melimpah.

Jumlah itu penonton yang melihat dari bioskop, belum yang melihat melalui saluran ilegal di media sosial seperti YouTube. Jumlah penontonnya bisa mencapai puluhan juta orang.

Motif dari pembuatan film ini agar para pelaku yang masih DPO segera ditangkap. Namun dalam perjalanannya kasus ini isunya melebar kemana mana. Semua orang nyaris nimrung ikut berbicara, sesuai dengan kapasitas dan kapabalitasnya.

Tentunya bagi teman jurnalis, persoalan yang viral perlu disikapi kritis dan analitis. Pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” selalu ada dalam benak wartawan. Maka media massa harus cerdik dan mampu menyaring setiap pemberitaan yang muncul.

Namun dalam persoalan kasus Vina ini, kebenaran yang hakiki atau tidak hanya Allah Swt. Manusia hanya bisa mampu menduga dan menganalisis dengan segala kemampuan dan perangkat yang ada. Tapi sikap kritis dan analitis, di balik setiap pemberitaan yang viral, agar kita tdak mudah terjebak dalam permainan agenda setting. Semoga.

Writer: Riskawati PapeoEditor: Vivi Thalib

Komentar