Tiga Provinsi Baru di Papua Terbentuk, Masyarakat Papua akan Mengadu ke MK

Jakarta – ligo.id –  Tiga provinsi baru di Papua resmi terbentuk, yaitu Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan.

Besar kemungkinan, tiga Undang-Undang provinsi pemekaran ini akan langsung dibawa ke Mahkamah Konstitusi oleh masyarakat Papua.

DPR dan pemerintah telah menyepakati tiga Undang-Undang pembentukan provinsi baru di Papua dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-26, Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022, Kamis (30/6/2022).

Dengan demikian, tiga provinsi baru secara sah terbentuk, di tengah gelombang penolakan yang belum berhenti. Salah satu penolakan itu, gencar dilakukan oleh koalisi lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Organisasi Sipil untuk Papua (SOS Papua).

Koordinator koalisi ini, Emanuel Gobay menyebut, upaya hukum akan diambil karena warga Papua juga memiliki hak konstitusional yang dijamin UUD 1945.

Baca juga :  Jadi Khatib Salat Ied, Marten Bahas Soal Sifat Pemimpin dan Soal Perbedaan

Hak itu adalah upaya hukum, yang dalam hal ini berupa upaya judicial review terhadap tiga undang-undang pembentukan provinsi baru ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Banyak warga Papua yang merasa dikorbankan hak politiknya, untuk menentukan sikap atas kebijakan ini. Sebagai warga negara yang taat hukum, tentunya mereka akan berpikir ke tingkatan itu. Saya sudah mendapat informasi dari beberapa pihak, untuk mengarah ke wacana itu,” kata Gobay. Kamis (30/6/2022).

Dasar Pengujian Diklaim Kuat

Kata Gobay, ada sejumlah fakta yang bisa dipakai sebagai dasar pengajuan judicial review ke MK itu.

“Yang pasti, yang menjadi legal standing untuk eksekutif maupun legislatif diberikan kewenangan untuk membentuk kebijakan pemekaran di Provinsi Papua, itu kan dalam UU no 2/2021, di mana pasal dalam UU tersebut sedang diuji di MK,” ujarnya.

UU No 2/2021 mengatur tentang Otonomi Khusus Papua. UU ini sedang diuji di MK oleh perwakilan warga Papua. Menjadi aneh ketika UU yang sedang diuji oleh warga negara dijadikan dasar untuk membentuk UU baru, yang dalam hal ini terkait pemekaran Papua.

Baca juga :  Bareng Pemangku Adat, Pemkot Gorontalo Gelar Prosesi Motonggeyamo

Gobay juga mengingatkan pemerintah pusat sebenarnya masih memberlakukan status moratorium untuk pemekaran wilayah. Karena itu, pembentukan DOB di Papua justru tidak sesuai dengan kebijakan penghentian pemekaran yang diputuskan sendiri oleh pemerintah, dan belum dicabut.

Pembentukan provinsi baru di Papua juga memiliki masalah soal partisipasi.

“Sekalipun sudah disahkan, tapi sampai hari ini jelas tidak ada aspirasi dari masyarakat yang diambil oleh legislatif dalam perumusan itu. Kemarin kami lihat, ketika DPR RI ke Papua, melakukan jaring pendapat di Merauke dan Jayapura yang bertemu hanya kepala daerah dan DPRD, sementara masyarakat tidak ada,” tegas Direktur LBH Papua ini.

Sejumlah prinsip yang dilanggar ini, lanjut Gobay, menimbulkan pertanyaan, seolah prinsip negara hukum tidak diterapkan di Papua.

Baca juga :  Dirangkaikan dengan Gebyar Ketupat, Hardiknas ke-65 Resmi Dicanangkan

“Terkesan dirumuskan secara sepihak oleh pusat, dan disahkan pula secara sepihak oleh pusat. Dan itu dilakukan tidak sesuai dengan mekanisme perumusan perundang-undangan, dan juga pada saat kondisi hukum atributifnya masih proses di MK, dan belum ada pencabutan kebijakan moratorium DOB di Indonesia,” rangkum Gobay. #cak/my

Komentar