LINTAS OPINI (LIGO) – Birokrat merupakan Masyarakat yang dikenal dengan kaum kelompok menengah dalam klasifikasi masyarakat kita. Level kelompok menegah sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat pada umumnya apalagi birokrat pada sisi kesehariannya sebagai eksekutor program yang telah direncanakan oleh pemerintah maka baik tidaknya pemerintahan ditentukan oleh sikap dan perilaku kelompok birokrat salah dalam mengeksekusi kebijakan maka akan membuat banyak orang sengsara begitupun sebaliknya benar dalam mengeksekusi kebijakan maka akan membahagiakan banyak orang.
Birokrasi menurut Bintoro Tjokroamidjojo “1984” birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Dengan demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi ialah agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan terorganisir. Bagaimana suatu pekerjaan yang banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih di dalam penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas dari birokrasi.
Problem birokrasi kita hari ini banyak yang mencitrakan kinerja yang baik mempunyai segudang “prestasi” dengan berbagai indikator diberi penghargaan hingga berbagai lencana pangkat dan sejumlah embel-embel yang di sematkan. Namim realitasnya ada banyak problem yang terjadi di masyarakat mulai soal konflik sosial, kemisikinan, penganguran serta nepotisme dalam bekerja maupun dalam kebijakan menjadi potret kita sehari-hari. Lantas bagaimana dengan prestasi birokrasi yang terkadang tak mampu mengubah sejumlah masalah dan kesenjagan sosial yang ada di masyarakat kita.
Kadang aparat yang terlalu kritis dianggap “Melawan” memuji dianggap loyal, berkinerja baik. Di tambah dengan tipe pemimpin yang bersikap “power sindrom” dengan wajah polos tertawa bahkan bahagia bila mendapat pujian yang manis dari sang aparat . Apalagi kelemahan sosok pemimpin sturktur biologis serta nalurinya telah tuntas di pelajari oleh sang aparaturnya sehingga apapun kesalahan, kerja – kerja lamban dan kerja tak populispun di ambil sangat gampang untuk dapat memberi pertagung jawaban pada atasannya “Pemimpin” cukup merengeh, memuji bajkan mengelus elus pemimpin selesai sudah urusannya, maka benang yang kusut tak bisa di tambal sulam oleh pemimpinnya. Maka segudang Problem setiap harinya terus bertumpuk serta tak akan habis apalagi tidak terkelola dengan baik.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada tanggal 6 september 2018 merilis sebanyak 2 357 orang PNS pusat dan Daerah yang telah di vonis bersalah dan inkrach dan Propinsi Gorontalo 32 orang yang terjerat oleh kasus ini. Sunguh realitas ini justru berbeda dengan citra pemerintahan kita dimana setiap tahunnya kita menyabet penghargaan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang dianugerahi oleh Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia (BPK) RI lembaga ini memberi predikat melalui proses serta mekanismenya dengan verifikasi yang begitu ketat mulai tata kelola keuangan yang baik hinga transparansi dalam pengelolaan keuangannya.
Prestasi juga Problem menjadi wajah pemerintahan dalam birokrasi kita. Krisis moral senatiasa menjadi tontonan di berbagai media sidang-sidang korupsi seolah menjadi hal yang biasa, lumrah, dan wajar dalam setiap perjalanan birokrasi.
Momentum ikrar perubahan sekedar lelucon regenerasi kepemimpinan saat perhelatan pilkada, seolah hanya sekedar lipstik dan kampanye yang tak perlu ditunaikan. Janji politik hanya dipangung kampanye, orasi politik yang menyatakan perubahan jauh dari korupsi akan berbuat terbaik bagi rakyat dan program program pro rakyat lainya semua pupus setelah terpilih dan di nobatkan menjadi Nahkoda pemerintahan. begitupun sosok birokrat ketika di angkat dan di sumpah menjadi seorang aparat akan bekerja dengan penuh hati, sunguh-sunguh dan penuh tangung jawab inikah cerminan birokrasi dan pemimpim kita hari ini ?? Wallahu alam bisawab.
Penulis: Nurhadi Taha
Komentar