LINTAS NASIONAL (LIGO) – Protes atas tindakan Arab Saudi yang mengeksekusi mati TKI Tuti Tursilawati di Arab Saudi pada 29 Oktober 2018 lalu, Aktivis Migrant Care Anis Hidayah meminta pemerintah meninjau kembali rencana pengiriman 30 ribu Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi. Anis Hidayah juga meminta pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi kerja sama kesepakatan antara Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri dengan Menteri Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial Kerajaan Arab Saudi tentang pengiriman puluhan ribu TKI ke Arab Saudi.
Menurut Anis, kerjasama tersebut perlu dievaluasi agar kasus yang dialami Tuti Tursilawati tidak terulang lagi pada masa mendatang. Apalagi, ujarnya, tidak ada pelibatan publik dalam proses penyusunan poin-poin dalam kesepatan tersebut.
“Sama sekali, tidak ada komunikasi publik, tidak ada pelibatan masyarakat sipil. Sama sekali tertutup konsepnya. Bahkan kita sampai hari ini, kita tidak tahu isi perjanjian yang ditandatangani antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi,” jelas Anis Hidayah yang dilansir dari VoA, Rabu (31/10).
Anis juga mengatakan sudah meminta informasi tentang isi kesepakatan bilateral antara Indonesia dan Arab Saudi sepekan lalu. Namun, masih belum juga mendapatkan isi perjanjian tersebut dari Kementerian Tenaga Kerja.
Pihak anis menyatakan kasus Tuti bukan satu-satunya kasus eksekusi mati tanpa notifikasi di Arab Saudi karena sepanjang 2008-2018 ada lima kasus serupa yang terjadi di Arab Saudi yaitu eksekusi Yanti Irianti, Ruyati, Siti Zaenab, Karni, dan Muhammad Zaini Misrin Arsad.
Sementara itu Kepala Bidang Advokasi Kontras Putri Kanesia mengatakan di mata internasional, posisi Indonesia dalam membela TKI yang terancam eksekusi hukuman mati di luar negeri lemah karena Indonesia juga memberlakukan hukuman mati di dalam negeri.
“Karena akan sulit diplomasi di negara lain. Apalagi misalnya pemerintah Indonesia ketika meminta dukungan dari komunitas internasional atau pemerintahan internasional untuk men-support agar warga negara Indonesia tidak dieskusi di Arab Saudi. Bagaimana kita bisa mendapat dukungan tersebut, jika di Indonesia masih memberlakukan vonis hukuman mati, terhadap warga negara dan warga asing. Ini menjadi double standartnya pemerintah Indonesia,” jelas Putri.
Putri menambahkan kebijakan hukuman mati di Indonesia tidak hanya menyulitkan advokasi pembebasan hukuman mati di Arab Saudi, tetapi juga advokasi di negara lain.
Menanggapi itu, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Nusron Wahid mengatakan, hukuman mati dan penempatan TKI di Arab Saudi merupakan hal yang berbeda. Menurutnya, selama Arab Saudi memberlakukan hukuman mati maka ancaman hukuman mati bagi siapapun di Arab Saudi dapat terjadi. Karena itu, kata dia, yang perlu dilakukan pemerintah yaitu menempatkan TKI di Arab Saudi dengan perlindungan yang lebih kuat dibandingkan dengan sebelumnya.
“Kalau perkara hukuman mati, itu selama masih ada hukum syariat Islam diberlakukan di sana dengan model qisas. Kalau ada yang membunuh pasti akan dibunuh di sana. Mau kita mengirim tenaga kerja atau moratorium atau tidak akan diesksekusi. Karena hukum di Arab Saudi begitu,” jelasnya.
Nusron menambahkan untuk “Sistem Satu Saluran” yang dijalin Kementerian Tenaga Kerja Indonesia dengan Arab Saudi masih dalam tahap penyusunan sistem dan format penempatan dan perlindungan. Tiga hal yang berbeda dengan aturan sebelumnya adalah TKI tidak boleh bekerja kepada individu, wajib teregistrasi oleh pemerintah dan TKI diberikan kebebasan berkomunikasi dengan TKI lainnya di Arab Saudi serta berhubungan dengan perwakilan Indonesia.
Terkait protes Migrant Care agar dilibatkan dalam penyusunan Sistem Satu Saluran tersebut, Nusron menyarankan agar masyarakat sipil berkoordinasi langsung dengan Kementerian Tenaga Kerja.
Laporan: VoAIndonesia/Ab/e/Elias
Editor: Najid Lasale
Komentar