Oleh: Tarmizi Abbas
Aktivis Himpunan mahasiswa Islam. GUSDURian Gorontalo.
“I challenge anyone to understand Islam, its spirit, and not to love it. It is a beautiful religion of brotherhood and devotion.” – Yann Martel, Life of Pi
Ada angin segar yang berhembus di seluruh penjuru dunia Islam. Sejumlah Muslim, khususnya para generasi mudanya – sungguh-sungguh ingin mengetahui bagaimana Islam terpaut dengan dunia sekitar: saat ini, dan nanti. Akan tetapi, sebagian besar hembusan perubahan ini biasanya mengulang-ngulang, dangkal dan kadang-kadang juga menggelisahkan.
Cukup banyak respon yang telah diterima. Mulai dari yang luwes, fleksibel, sampai yang paling keras sekalipun. Keseluruhannya mutlak merupakan jawaban atas tantangan dan dominasi global, serta perlunya mengembalikan Islam pada posisi utuhnya sebagai “Rahmatan Lil Aalamiin”. Alhasil, syukur kepada Allah Swt; saat ini, Islam bercorak eksklusif, pemarah dan fanatik sedang naik daun.
Garis Islam semacam ini memandang bahwa Islam adalah ajaran final– [Al-Maa-idah: 3]. Isinya sudah valid, tidak perlu ada pengurangan apalagi penambahan dalam bentuk apapun. Menambah sesuatu yang baru dalam Islam, apalagi menguranginya – betapapun ia dibalut dengan bentuk sofistikasi dan perkembangan zaman, adalah sangkalan atas Islam yang sempurna, otentik dan absolut.
Di sisi lain, pandangan secama ini jelas mereduksi makna Islam yang senantiasa dapat “menembus” luasnya ruang dan “berjalan” bersama aliran waktu, “Shãhih Fii Kulli Zamãn Wal Makãn”. Geraknya tidak bisa lagi dibatasi sekadar pada aspek-aspek teologis: shalat, zakat, puasa dan haji. Ia, Islam, sebagaimana disebutkan oleh Hasan Hanafi, harus mampu menembus batas institusi (shalat, puasa, zakat dsb.) keagamaannya sendiri, lalu dengan tegas: berdialog dengan dunia sekitarnya.
Doktrinal Historis
Varietas Islam semacam ini muncul pada pertengahan abad ke-6 (661 M) – saat ketika al-Barak bin Abdullah, ‘Amr bin Bakr, dan Abdurrahman bin Muljam – yang merupakan anggota kelompok Khawarij berniat membunuh pemimpin terpenting dalam Islam pada waktu itu. Konon, dalam kitab-kitab Tãrikh, mereka adalah sekelompok orang yang memisahkan diri dari mainstream Muslim karena tidak puas dengan cara pemimpin mengelola urusan umat.
Awalnya Khawarij adalah pengikut setia Ali bin Abi Thalib. Tapi semuanya berubah. Keadaan tak lagi sama tatkala mereka merasa Ali telah keliru dalam mengambil keputusan untuk menoleransi Muawiyah bin Abi Sufyan.
Bagaimanapun, Muawiyah harus dihukum – sebagaimana tertulis dalam Al-Quran “Lã hukma illa Allãh”, tak ada hukum kecuali hukum Allah – lantaran telah berlaku khianat. Tetapi, yang timbul justru kekecewaan. Atas nama perdamaian, Ali memilih damai: arbitrase dilakukan melalui Amr bin Ash. Muawiyah bebas.
Pilihan Ali membuat Khawarij menarik diri. Fitnah, kekacauan dan kegaduhan seketika menyisir Yastrib. Situasi kian serampangan. Perlahan, dualitas dalam tubuh kepemimpinan Ali terjadi. Khawarij juga turut menerapkan ideologi yang mereka anggap benar: eksklusif dan fanatik. Menjadikan kelompok ini gemar mengkafirkan sesama Muslim yang sekiblat, tunduk dan sujud pada Tuhan yang sama, namun berbeda paham dengan mereka.
Dalam sejarah peradaban Islam, insiden ini adalah hal yang paling menyesakkan dada. Betapa tidak: saudara saling menjarah, nista dan kekacauan mewabah – meminjam Walter Benjamin: “ia, kekuasaan, dapat memenjarakan kebenaran, dan membutakan mata hati.” Alhasil, ia, Islam, kini tidak satu. Ia hadir dalam gerakan yang berbeda-beda. Tiap-tiap wajah keagamaan memiliki ungkapan kebenarannya masing-masing, bahkan, sekalipun ia terlahir dari prinsip teologis yang sama.
Sayap Kanan Ortodoksi Islam
Saat ini, Khawarij memang telah tiada. Memoar tentangnya telah lenyap bersama serpihan waktu, dan tarikan nafas peradaban manusia yang bergerak maju. Namun anak cucu mereka, wasiat Ali sebelum kematiannya kepada Hasan dan Husein: “akan tetap terlahir kembali dari tulang sulbi ayahnya untuk mengacaukan Islam.”
Belakangan fenomena serupa muncul. Fazlur Rahman mencatat, ada dua argumen penting mengapa gerakan ini lahir. Pertama, gerakan ini tumbuh bersama dengan terbentuknya Salafisme awal – dibayang-bayangi ajaran Ibnu Taimiyah dan dibesarkan dalam tradisi madzhab Hanbali yang cenderung keras dan tekstual. Kedua, gerakan ini adalah representasi sisa-sisa ketegangan antara Islam ortodoks dan sufisme di akhir abad pertengahan.
Selain itu, ada krisis multidimensi dan silang kepentingan yang enggan terselesaikan. Ini benar-benar beban moril. Maka jalan satu-satunya adalah purifikasi Islam – yakni sebuah gerakan untuk mengembalikan Islam di awal era keemasannya. Saat itulah aliran baru dalam Islam terbentuk. Mereka lahir dengan semangat yang lebih baru. Mereka menyebutnya sebagai ‘Semangat Kenabian’.
Gerakannya saat ini hampir tak terbendung. “Sayap kanan ortodoksi Islam”, begitu sitir Rahman dalam ‘Islam’ –telah berhasil mewarnai situasi politik, sosial dan ekonomi global. Itu terbukti dengan kemenangan mengejutkan partai Salafi di Mesir, merebaknya ekstremisme keagamaan, dan keterlibatan negara-negara superpower yang terus memelihara gerakan ini agar tetap tumbuh subur.
Persoalannya adalah, sisi lain kegamaan ini dapat memperkeruh suasana plural kita di Indonesia. Sikapnya keras. Gelaknya dapat sewaktu-waktu merobek keragaman yang sudah kita pintal sedari dulu. Sebagaimana gelombang awal kemunculannya bersama Ibn Taimiyah yang – oleh pengamat Mazhab Hanbali, termasuk Syaikh Hasan Farhan al-Maliki dalam bukunya Qirã’ah fī Kutub al-’Aqã’id al-Madzhab al-Hanbali Namūdhajan – gemar mengecam hingga mengkafirkan kelompok-kelompok Muslim lain yang tidak sepandangan dengan Ibn Taimiyah.
Gelombang itu, benar, sedang pasang-pasangnya sekarang. Apalagi dengan adanya information spill over (peluberan informasi), meminjam Haidar Bagir: “konsekuensi anggapan buruk dan salah kaprah – khususnya non-Muslim – terhadap Islam akan semakin menguat.” Alhasil, tidak sedikit dari masyarakat global, pun umat Islam sendiri – yang menganggap bahwa Islam adalah agama teror, penyuka perang dan eksklusif.
Fildees Quareens Intellectum; Iman Yang Mencari Pengetahuan
Sebenarnya, penyematan kata ‘agama’ dalam Islam itu kurang pas. Lantaran hampir dalam setiap kamus Ilmiah, agama seringkali ditafsirkan sebagai ritual, kepercayaan, mistik dan dogma. Sungguh berbeda dengan Islam, yang, merupakan keharusan universal, ‘Vanculum Sustyantinale’. Ia akan sejalan bilamana dilekatkan pada yang selain Islam – pada agama populer seperti Kristen dan Yahudi, atau agama-agama manusia yang kini sedang di konstruksikan kembali di Asia Tengah.
Istilah paling tepat disematkan untuk Islam, meminjam Hasan Hanafi dalam Islamologi adalah etika global. Sebuah cara pandang tentang Islam, yang, menurut para ahli fenomenologi agama sebagai manifestasi cinta-kasih Tuhan, “eros-oriented religion”. Sebab deskripsinya mengulas tuntas tentang manusia dalam masyarakat, kebutuhan primernya, komitmen moralnya dan aksi sosialnya.
Islam juga dapat dimaknai sebagai sistem ide. Semua tercermin dalam perjalanan historisnya kental dengan pengalaman wahyu, disahkan dalam realitas, dan bagaimana ia ditafsirkan kembali sesuai tuntutan zaman. Maka secara tidak langsung, perdamaian, sikap terbuka dan tenggang rasa akan tercipta secara natural. Puncaknya adalah, meminjam Erich Fromm dalam The Heart of Man (1966) sebagai biofili, yakni sebuah perasaan yang menuntun manusia ke dalam kebahagiaan. Bukan menyulut api perpecahan.
Penganutnya akan hidup tanpa paksaan. Tanpa kepura-puraan. Sebab Keunggulannya tidak datang dari fakta-fakta material, institusi-institusi keagamaan dan seluruh doktrin yang melembaga, melainkan melalui fondasinya bagi kehidupan manusia. Itu sebabnya mengapa Islam dapat dikaji tanpa melihat latar belakang keagamaan pengkajinya. Karena Islam pada dasarnya dinamis. Tidak terikat, kaku dan keras. Ia justru membebaskan! Sebagaimana Iqbal menggambarkan semangatnya sebagai upaya untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan.
Kepercayaan manusia terhadapnya akan membentuk kesadaran pencarian utuh atas Islam yang sebenar-benarnya, ‘Fildes Quareens Intellectum’. Inilah Islam yang otentik. Sebuah wajah keagamaan yang tidak terbatas dan terkungkung dalam satu pandangan kaku. Ia bergerak. Terus bergerak. Memenuhi tuntutan zaman sebagaimana memang ciri dasarnya adalah “Shãhih Fii Kulli Zamãn Wal Makãn”. Tugas-tugas cekatan pemikir Muslim ada tempat ini. Mereka harus terus memastikan bahwa Islam dapat senantiasa ditafsirkan kembali berdasarkan konteks sosial, politik dan ekonomi global.
Fildes Quareens Intellectum ini juga menyadarkan kita bahwa, Islam dapat diterjemahkan dengan cara yang berbeda-beda, sesuai dengan daya dan kognisi manusia: ringkas, tegas, terkadang juga menggunakan simbol-simbol keagamaan yang perlu penjelasan yang detil. Bukan Islam yang senantiasa ditafsirkan atas dominasi atau hegemoni kelompok yang memiliki kekuatan tertentu. Sebab Islam, meminjam Seyyed Hosn Nasr dalam The Heart of Islam: “akan senantiasa membawa keindahan di manapun tempatnya berpijak.”
foto ilustrasi: HASMI
Komentar