Laskar FPI Tewas, Muhammadiyah Minta Jokowi Bentuk Tim Independen

Yogyakarta – ligo.id – Terkait penembakan yang mengakibatkan meninggalnya enam orang anggota Front Pembela Islam (FPI) pada Senin lalu (7/12), Busyro Muqqodas mewakili Pimpinan Pusat Muhammadiyah, meminta Presiden Jokowi untuk membentuk tim independen.

“Kepada aparat kepolisian, kami minta dan kami tuntut untuk menunjukkan kejujuran profesionalitasnya,” kata Busyro.

Dan kepada Presiden selaku panglima tertinggi TNI dan Polri, juga kami mendesak peristiwa ini bukan saja diambil sikap yang minimalis atau formalistik, tetapi dibentuk satu tim, yaitu tim independen yang terdiri dari sejumlah pihak,” sambungnya.

Perlunya keterlibatan dari berbagai pihak misalnya lembaga-lembaga negara terkait, dan unsur masyarakat di dalamnya, salah satunya dari Ikatan Dokter Indonesia.

Muhammadiyah, jelas Busyro, bukan saja menyesalkan apa yang terjadi, tetapi juga mengutuk terjadinya kekerasan. Sikap tegas itu diberikan, kepada siapapun yang menjadi pelaku aksi kekerasan tersebut.

Muhammadiyah juga meminta, peristiwa ini menjadi bahan koreksi yang fundamental.

“Koreksi total untuk kesekian kalinya, terutama bagi negara. Negara yang fungsinya melindungi rakyat yang berdaulat. Apalah artinya rakyat berdaulat, jika keselamatan jiwanya, keamanannya tidak terjamin,” tukas Busyro.

Ia menegaskan, PP Muhammadiyah selama berkiprah telah berkali-kali melakukan fungsi advokasi terhadap pelanggaran yang dilakukan aparat negara. Sejumlah peristiwa, katanya, membuktikan negara masih sering hadir dalam bentuk kekerasan.

Secara resmi, sikap Muhammadiyah dibacakan oleh Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, yang menyebut situasi Indonesia saat ini kompleks dengan berbagai persoalan bangsa. Karena itulah, insiden yang mengakibatkan meninggalnya enam anggota FPI ini perlu disikapi sungguh-sungguh oleh para pengemban kepentingan.

“Khususnya para penegak hukum, guna menjaga pola penanganan perkara yang menghindari penggunaan kekerasan senjata api, yang seharusnya hanya sebagai upaya terakhir, secara terukur, sesuai SOP (standard operating procedure -red) dan tepat sasaran, sebagaimana hukum yang berlaku,” kata Trisno.

Trisno menambahkan, kasus ini seolah menjadi pengulangan kejadian sejenis, seperti kematian Pendeta Yeremias Zanambani di Papua, kasus kematian Qidam di Poso, dan sejumlah kasus lain.

Deretan kasus, di mana terjadi kematian warga negara tanpa melalui proses hukum sebelumnya. Karena itulah, Komnas HAM atau tim independen bentukan presiden, perlu bekerja. (#c)

Komentar