LINTAS NASIONAL (LIGO) – Meskipun Gerakan Pemuda Anshor telah meminta maaf atas tindakan pembakaran bendera oleh salah seorang simpatisannya, tidak membuat kasus itu mereda. Bahkan sebaliknya ajakan untuk bela tauhid makin meluas.
Dikutip dari VoA Indonesia, Jum’at (26/10) Ketua Lakpesdam PBNU Dr. Rumadi Ahmad melalui media sosialnya 23 Oktober menuliskan pendapatnya soal kejadian pembakaran bendera.
“Sebenarnya saya agak malas komentar soal ramai-ramai pembakaran bendera HTI oleh Banser di Garut, bertepatan dengan peringatan Hari Santri,” tulisnya.
Pernyataan Rumadi yang sudah di-share lebih dari 2.200 kali itu menilai permintaan maaf GP Anshor pun akan “digoreng” dengan mendesak proses hukum atas pembakaran kalimat tauhid yang dinilai “menista Islam,” dilanjutkan dengan seruan pembubaran Banser, dan terakhir mengarah pada Pilpres 2019.
“ditarik ke soal pemilu presiden 2019 dengan kalimat ‘jangan mendukung calon yang didukung penista agama,” demikian pernyataan Rumadi.
Kepada VOA, pagi tadi (26/10), Rumadi Ahmad dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada bendera tauhid.
“tidak ada bendera Tauhid, karena Tauhid tidak punya bendera.” tegasnya.
Ia kembali menggarisbawahi untuk tidak menyebut bendera HTI sebagai bendera Tauhid.
Ungkapan yang sama juga dikatakan Ketua Indonesian Conference on Religions for Peace (ICRP) Prof. Dr. Musdah Mulia yang menegaskan bahwa tidak ada yang namanya bendera Tauhid.
“Gak ada bendera Tauhid. Yang ada bendera bertuliskan kalimat Tauhid, seperti pada bendera Arab Saudi, ISIS, Al Qaida, Hizbut Tahrir. Media sebaiknya tidak menyebut bendera Tauhid, apalagi bendera Rasul, karena penyebutan-penyebutan ini memojokkan kalangan lain. Seolah-olah pemilik bendera-bendera itu yang Islam,” ujarnya kepada VoA.
Kontroversi bendera Tauhid dan bendera HTI membuat ilmuwan Islam yang juga mantan rektor Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, memberi penjelasan dari perspektif lain.
“Dalam beribadah kita mencintai dan menyembat Dzat Allah, bukan menyembah nama Nya atau logo tulisan Allah. Namun dalam kehidupan sosial politik, orang memerlukan nama, simbol dan logo,” ujarnya.
Komaruddin mengakui formulasi kalimat Tauhid berbeda antara manifesto dari kalimat tersebut dengan fungsinya, apalagi sudah mengarah pada persoalan politik praktis.
“Formula kalimat la ilaha illallah itu eksplisit sebagai manifesto (perwujudan, red.) tauhid, tetapi fungsinya berkembang. Kedua hal ini berbeda. Tetapi ini sekarang memasuki ranah politik, bukan lagi kajian ilmiah.” imbuhnya
Laporan: VoAIndonesia/Najid Lasale
Editor: Gilang
Komentar