Oleh : Eka Putra B Santoso
(Pengajar di IAIN Sultan Amai Gorontalo)
Ulang Tahun ke 17 Provinsi Gorontalo kali ini dibuka dengan serangkaian acara yang cukup ramai. Beberapa diantaranya adalah Jalan sehat, dan tentu masih banyak acara maupun kegiatan yang akan dibuat pihak Pemprov. Tetapi, ditengah hingar bingarnya perayaan sweet seventeen ini, perlu semacam tinjauan historis serta telaah kritis yang patut kita pertanyakan atas esensi kerja-kerja Pemerintah.
Fakta dan Solusi kemiskinan Stagnasi angka kemiskinan 5 tahun terakhir di Gorontalo berhenti di angka 17,72%. Rilis BPS Provinsi ini menggambarkan kenaikkan jumlah orang miskin terjadi pada tahun 2011 sebesar 1,47 % dari 16,55% menjadi 18,02%. Angka ini sempat menurun di tahuh 2012 menjadi 17,22% dan naik lagi pada 2013 menjadi 18%, 2014 ;17,41%, 2015; 18%, dan 2016 ; 17,72%.
Secara umum stagnasi jumlah kemiskinan di Provinsi Gorontalo meurut BPS, salah satunya di ukur dari pendapatan per kapita masyarakat. Hasil survey september 2016 pendapatan masyarakat miskin di Kota berkisar pada angka Rp.287.156 Per bulannya, sedangkan di Pedesaan sebesar Rp.285.999 Per bulannya. Stagnasi angka ini jelas mengingatkan kita pada awal Januari 2016 silam yang menempatkan Gorontalo sebagai daerah termiskin ke 5 secara nasional dengan angka 18,16%.
Tidak hanya itu di tahun 2015 PSKK UGM telah merilis data tentang Index Pembangunan Berwawasan Kependudukan di Indonesia, dan lagi-lagi Gorontalo ada di urutan ke dua terakhir dengan persentase 11.02%. beberapa catatan terkait ini adalah hilir dari ketidakmerataan sumber penghasilan masyarakat, liberalisme di sektor ekonomi telah menempatkan kemiskinan struktural pada posisi yang akut. Hal ini bisa saja ditanggulangi dengan membuat siklus ekonomi baru di Gorontalo.
Secara politik Regulasi Perda anti monopoli pasar wajib dibuat di era kebebasan ekonomi ini, landasan nya tentu merujuk pada UU no 5 tahun 1999 tentang pelarangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hari ini secara nyata kita bisa melihat ketimpangan terjadi, misalnya, semua yang dijual di pasar tradisional khususnya hasil pertanian dan perkebunan juga dijual di pasar modern seperti Mall hingga Indomaret maupun Alfa Mart.
Yang memiriskan hasil olahan rempah-rempah tradisional yang siap di campur untuk bahan masakan telah dimonopoli oleh pasar-pasar modern . Jelas ini mengganggu stabilitas penghasilan kaum pasar tradisional. Menurut Kwik Kian Gie, Inovasi yang berani dalam sistem ekonomi wajib dilakukan demi menahan laju persaingan tidak sehat antara pemodal besar dan kaum akar rumput.
Sebagai contoh di Kabupaten Kulon Progo Jogja, beberapa Minimarket dibuat kebijakan khusus untuk berkolaborasi dengan masyarakat agar wajib menjual hasil pertanian lokal. Begitu pula dengan air mineral, Pemerintah membuat usaha air mineral yang logo hingga promosinya dikelola masyarakat dengan menggunakan nama Kabupaten Kulon Progo, minuman sejenisnya pun cukup sulit masuk dan bersaing dengan produk lokal tersebut. Inovasi seperti ini harusnya bisa di prakarsai oleh pemimpin di Gorontalo tentu dengan bentuk yang berbeda.
Kota sebagai wilayah perdagangan dan jasa seyogyanya mampu menciptakan pasar yang lebih luas antar Provinsi dan kerja sama dengan berbagai minimarket modern tentang akomodsi hasil alam masyarakat lokal. Kemudian Kabupaten sebagai pemasok hasil alam harus terinterpensi oleh pemerintah dari proses hulu pemilihan bibit unggul, hingga tahap distribusi. Hal ini tentu bisa dilakukan di Gorontalo, yang dibutuhkan adalah konsentrasi dan kerja sama antar kepala daerah dalam merumuskan paket kebijakan pro rakyat.
Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah sekat bendera politik mampu dilunakkan atas nama rakyat? Kita lihat saja nanti. Semoga pada perayaan ulang tahun ke 17 Provinsi Gorontalo semakin mampu mengilhami desain sebuah peradaban besar para Ilomata beberapa abad silam.(LG)
Komentar