Hal Ihwal Verifikasi Media

Jakarta – ligo.id – Dalam dua minggu ini, kepada saya banyak diteruskan berita di media siber yang tidak jelas sosoknya, soal verifikasi perusahaan pers.

Dikatakan tidak ada kata “verifikasi” di Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers, jadi apa yang dilakukan Dewan Pers itu tidak ada dasar hukumnya. Tidak sah.

Ada pula yang mempersoalan Peraturan Gubernur di suatu provinsi, yang menyaratkan bahwa kerjasama kemitraan menggunakan anggaran APBD hanya dilakukan dengan media yang sudah berstatus terverifikasi administrasi atau terverifikasi faktual dari Dewan Pers.

Ada yang bertanya, jadi bagaimana ini, Bang. Saya jawab, betul memang tidak ada kata itu di UU Pers tapi jelas sekali dinyatakan di Pasal 15 ayat (2) butir g UU Pers, salah satu fungsi yang diemban Dewan Pers adalah mendata perusahaan pers.

Dan sebagai turunan dari butir g tersebut, maka pada 2008 lahir Peraturan Dewan Pers No. 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers yang kemudian diperbarui lagi dengan Peraturan Dewan Pers No. 3/Peraturan-DP/X/2019, 11 tahun berikutnya.

Jadi dasar hukumnya jelas. Masyarakat pers diminta mengatur dirinya sendiri, apa yang dikenal sebagau prinsip swa regulasi, self regulation.

UU Pers adalah satu-satunya undang-undang yang tidak ada produk turunannya dari pemerintah akibat trauma di zaman Orde Baru, dimana Surat Keputusan Menteri Penerangan Harmoko lebih sakti dari UU yang berlaku (UU No.21 tahun 1982) untuk mengatur hidup mati sebuah media.

Peraturan Dewan Pers merupakan produk dari masyarakat pers sendiri karena mulai usulan butir-butir masalah, pembahasan, perumusan, selalu melibatkan bahkan diinisiasi organisasi pers, dan ketika draft sudah mendekati final maka diadakan uji publik.

Di sini seluruh pemangku kepentingan di luar pers pun diajak untuk memberi masukan, mengoreksi, dan memberikan sudut pandang nonpers agar saat nanti sudah menjadi aturan, dia benar-benar mewakili semua pihak terkait.

Dan apabila ada pihak lain yang menjadikan Peraturan Dewan Pers sebagai salah satu pertimbangan untuk mengatur kerjasama dengan media, itu adalah hak dari pimpinan daerah tersebut.

Penggunaan anggaran di APBD memiliki sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban yang ketat dan bila ada temuan pelanggaran maka pelaksananya dapat terkena sanksi bahkan masuk penjara kalau terbukti secara mengaja menyelewengkannya.

Dewan Pers tidak berhak mengatur pimpinan daerah soal penggunaan anggaran dan itu memang bukan tugas yang ditetapkan UU Pers.

***

Verifikasi perusahaan pers, tidak hanya mengatur dan terkait dengan pers itu sendiri. Marilah kita lihat beberapa hal yang menjadi syarat agar terverifikasi.

Badan hukum khusus pers, yang disahkan KemenkumHAM, merupakan keharusan karena itu tuntutan UU Pers agar bidang usaha ini tidak tercemar dengan kepentingan lain.

Apalagi ada contoh di mana perusahaan pers digunakan sebagai alat penekan untuk mendapatkan proyek, lelang, atau previlese lain, ketika di PT yang sama usahanya campur-campur.

Dengan fokus hanya menjadi perusahaan yang menyelenggarakan dan menyiarkan berita maka media tidak akan terseret ke sana kemari dan dapat taat pada visi misinya mencerdaskan masyarakat, menyajikan informasi berbasis publik, dan menyuarakan kepentingan umum.

Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab harus bersertifikat wartawan utama, karena konsekuensi dan tanggung jawab hukum dari media harus dipegang orang yang faham jurnalistik dari segala aspek.

Dia harus menyaring mana berita yang sudah sesuai Kode Etik Jurnalistik, berita yang berpotensi disomasi karena melanggar asas praduga tak bersalah, tidak berimbang, tidak konfirmasi, tidak akurat.

Dia harus tahu bahwa kesalahan berita adalah tanggungjawabnya. Dia harus tahu iklan yang melanggar UU Pers adalah tanggungjawabnya. Kalau ada panggilan dari pihak kepolisian atas isi berita, dialah yang harus datang, bukan buang badan dan menyuruh wartawannya. Dia pula yang harus menghadapi kalau ada protes masyarakat dan datang ke kantornya.

Konsekuensi membuat perusahaan media adalah manajemen harus mampu memberikan gaji minimal setara dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebanyak 13 kali dalam satu tahun.

Wartawan diasumsikan tidak punya pendapatan sampingan (apalagi dari amplop) dan “sabetan” agar dia dapat menjalankan tugasnya di koridor kode etik jurnalistik. Dia tidak boleh bekerja dengan perut keroncongan, sibuk memikirkan uang kontrakan, atau uang sekolah anak, karena itu dapat mempengaruhi integritasnya oleh sebab itu perusahaan harus menjamin kehidupannya.

Memang standar UMP ini dinilai rendah tapi akan mencukupi bila ada tunjangan transport, pulsa, atau uang makan harian. Apalagi kalau sampai hanya diberikan kartu pers dan diminta untuk mencari iklan atau berita berbayar, sehingga wartawan harus “kreatif” dan mengorbankan idealismenya.

Tentu saja perusahaan yang besar, untung besar dan bonafide, tanpa diminta akan memberikan gaji dan tunjangan yang besar, tapi yang diatur Dewan Pers adalah perusahaan pers pada umumnya. Yang hampir setiap hari tumbuh sehingga kini jumlah keseluruhannya mencapai puluhan ribu media.

***

Agar dapat terverifikasi, perusahaan media juga memberikan perlindungan jiwa kepada wartawannya. Sertifikat kepesertaan perusahaan pers di BPJS Ketenagakerjaan harus dimiliki untuk menunjukkan bahwa perusahaan melindungi wartawannya yang melakukan tugas jurnalistik, mulai dari kecelakaan ringan sampai dengan meninggal dunia.

Dianjurkan pula mensubsidi seluruh pekerjanya untuk mengikuti BPJS Kesehatan untuk meng-cover apabila menderita penyakit yang memerlukan biaya mahal.

Ini adalah wujud tanggung jawab perusahaan karena tugas wartawan penuh dengan risiko, sekaligus meringankan beban biaya apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Wartawan akan merasa tenang bertugas kalau dia yakin dilindungi dengan baik oleh media tempatnya bekerja.

Perusahaan pers juga wajib membuat pernyataan bahwa akan melindungi wartawannya apabila terkena masalah hukum pada saat melakukan tugas jurnalistik sampai dengan menyiarkan berita.

Tujuannya adalah agar wartawan tidak sendirian, menanggung beban atas berita yang dimuat di medianya, yang pernah dialami seorang wartawan media nasional. Dia akhirnya dipenjara karena pimpinan medianya tidak mau bertanggungjawab dengan alasan sudah ada perjanjian.

Verifikasi juga terkait dengan kejelasan alamat media, dan alamat percetakan untuk media cetak sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas terhadap masyarakat, sehingga apabila ada keluhan, complain atas berita ataupun perilaku wartawannya, masyarakat tahu kemana harus mengadu. Kalaupun kantor pindah karena kontrak habis, maka perusahaan pers wajib melaporkan disertai bukti kontrak.

Dan saat verifikasi faktual keberadaan kantor ini menjadi penting untuk mengecek kesungguhan manajemen menjalankan roda perusahaan sesuai dengan ketentuan undang-undang.

***

Verifikasi tidaklah wajib sehingga kalau ada yang tidak bersedia, Dewan Pers tidak dapat berbuat apa-apa, tetapi tentu saja media itu akan “terasing” dari komunitasnya. Seperti juga wartawan yang tidak mau ikut Uji Kompetensi, karena dia lalu sendirian karena sudah ada puluhan ribu wartawan yang memiliki sertifikat kompetensi.

Apalagi sekarang ini banyak daerah, lembaga, bahkan perusahaan yang ingin ada kejelasan status media dan status wartawan, sebelum bersedia diajak bekerja sama.

Kalau sudah serius mau menjadi perusahaan pers, menyelenggarakan media, agak aneh apabila pengelola tidak menaati aturan yang ada. Mari kita perhatikan bisnis lain. Restoran, warung kopi, pabrik, rumah sakit, tempat hiburan, semuanya menyelesaikan berbagai izin, menaati syarat, sebelum mereka beroperasi.

Sementara ada media yang belum punya apa-apa sudah berjalan, mengirimkan wartawannya untuk meliput kemana-mana. Cukup punya laptop, bikin kertas surat berkop media, logo, dan kartu pers, dan merasa sah menjadi media.

Tapi apabila disomasi, diadukan pembacanya, dituntut penjara atau perdata, ngotot mengatakan mereka pers dan bahkan meminta perlindungan Dewan Pers.

Perlu kesadaran besar, bahwa memahami dan taat pada aturan adalah hal mendasar bagi mereka yang ingin terjun di bidang usaha pers. Begitu pula mereka yang mau jadi wartawan. Jangan jadi slonong boy. Gitu lho. #red

oleh
Hendry Chairudin Bangun
Wakil Ketua Dewan Pers

Komentar