Caleg Perempuan?? Apa Benar Hanya “Pemenuhan Kuota”???

LINTAS NASIONAL (LIGO) – Pemilihan Umum 2019 membuat perempuan berkesempatan lebih besar untuk terlibat dalam proses politik di negara ini. Pasalnya setiap partai diwajibkan untuk mewakilkan Perempuan dengan kuota 30 persen setiap Partainya. Meskipun tidak bisa dipungkiri dari perwakilan Perempuan, juga ada yang belum memiliki pengalaman.

Seperti yang dilansir dari VoaIndonesia Rabu (07/11), kepada Voa Zumala Eva Chandra Sari mengaku tidak memiliki pengalaman politik. Namun dia menerima tawaran PPP menjadi Calon Legislatif (Caleg) DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) DIY pada Pemilu 2019 nanti.

“Tadinya juga gak mau, tetapi setelah saya pikir-pikir, ini kesempatan saya untuk membantu sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) karena saya orang UKM,” kata Zumala Eva Chandra Sari.

Hal ini bagi Triwahyuni Suci Wulandari dari Institute for Development and Economic Analysis (IDEA) Yogyakarta, bukanlah hal baru. Kata Suci, Partai Politik di Indonesia memang memiliki masalah besar terkait Kaderisasi Perempuan. Partai-Partai Peserta Pemilu memasang Perempuan dalam Daftar Calon Legislatif, sekedar untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan Undang-Undang.

“Kita tengarai, masalahnya di proses Rekrutmen di Partai sendiri. Mereka lebih pada pemenuhan kuota 30 persen yang diamanatkan dalam UU No. 7/2017. Mereka tidak melihat bagaimana kapasitas Perempuan dan ketika mereka sudah merekrut pun juga tidak berbicara soal kualitas, lebih pada yang penting kuotanya terpenuhi,” kata Triwahyuni Suci Wulandari.

Dalam memenuhi aspirasi Perempuan, ada dua strategi yang bisa dilakukan. Melatih Politisi laki-laki agar memahami dan mau berjuang di Parlemen untuk isu-isu Perempuan. Kedua adalah membuka peluang lebih besar bagi Perempuan berkiprah di Parlemen, agar mereka mampu bekerja dan membela hak Perempuan. Keduanya penting, kata Suci, namun memberdayakan Politisi Perempuan kini menjadi pilihan mereka. Suci mengakui, ada masalah internal di kalangan Politisi Perempuan yang harus diselesaikan. Banyak Caleg Perempuan justru meyakini, kehadiran mereka hanya sebatas “pemenuhan kuota”.

“Dari sisi Perempuan sendiri ketika kita lihat dari analisa DCT, data yang masuk itu motivasi mereka rata-rata hanya memenuhi kuota 30 persen untuk Parpol. Mereka memang tidak ingin untuk berkompetisi di politik,” kata Suci.

Untuk itulah, Rabu (7/11) IDEA dan International Republican Institute (IRI) mengumpulkan sekitar seratus Caleg Perempuan di Yogyakarta. Dalam forum ini, para Caleg mengidentifikasi tantangan dan potensi yang dimiliki dalam meraih suara pemilih. Bagi IDEA dan IRI, kegiatan ini diselenggarakan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kesadaran bagi Caleg Perempuan, bahwa mereka ada dalam posisi yang strategis. Caleg perempuan hadir bukan hanya memenuhi kuota, tetapi harus berperan, terpilih dan Anggota Legislatif yang membuat Kebijakan Pro-Perempuan.

Sejumlah masalah mendominasi perbincangan dalam pertemuan ini. Salah satunya adalah politik uang yang sudah membudaya. Praktik ini, terjadi tidak hanya karena para Caleg sendiri yang ingin memperoleh dukungan secara instan. Para Caleg Perempuan juga mengeluhkan Pemilih yang kini secara terbuka menanyakan, berapa dana yang disediakan untuk membeli suara mereka.

Nomor Urut juga menjadi polemik meskipun tidak menentukan kemenangan kursi. Mayoritas Caleg Perempuan ditempatkan di Nomor Urut bawah oleh setiap Partai.

“Sistem Proporsional Terbuka memaksa Caleg mencari suara sebanyak-banyaknya. Juga ada persoalan biaya tinggi. Perempuan mayoritas tidak mandiri secara ekonomi, begitu juga Caleg Perempuan. Padahal untuk biaya Alat Peraga Kampanye (APK) saja bisa sampai Rp 250 juta, belum biaya suara,” ujar Erni Irawati, caleg dari Partai Nasdem.

Namun, banyak pula optimisme muncul dari para Caleg Perempuan. Pemilih yang mayoritas Perempuan menjadi keuntungan jika dapat dimanfaatkan. Tantangannya kini justru pada peningkatan kapasitas Caleg Perempuan sendiri agar dapat memenuhi harapan pemilih. Selain ”modal” kapital dan kapasitas, faktor “modal” sosial juga diperhitungkan. Sejumlah Caleg mengatakan cukup percaya diri bahwa kegiatan mereka di tengah masyarakat selama ini akan cukup membantu.

Di kalangan Pemilih, budaya Patriarki juga menjadi kendala tersendiri bagi Caleg Perempuan. Pilihan Perempuan sebagai istri, kadang diputuskan oleh suaminya. Pemilih Perempuan tidak berdaya untuk menggunakan haknya. Hal itu disampaikan Nelly Tristiana dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat DIY.

“Pada 2018 ini, kita adakan Pelatihan Pengambilan Keputusan Bagi Perempuan. Kita datang ke 60 Desa, kita kumpulkan Perempuan-Perempuan, bagaimana mereka harus memilih seorang Calon Legislatif, antara lain karena keberpihakan kepada Perempuan tentu saja. Tahun ini program sejenis akan diadakan lagi,” kata Nelly Tristiana.

Namun, kata Nelly, Pendidikan tidak hanya dilakukan kepada Pemilih Perempuan. Penting juga untuk menyentuh kesadaran politik pemilih laki-laki agar lebih memahami sudut pandang kepentingan Perempuan dalam persoalan ini. Karena itulah, kampanye yang digelar adalah membentuk pemilih cerdas, yang mampu memanfaatkan hak pilihnya secara lebih baik.

Caleg perempuan menyampaikan deklarasi anti hoax untuk Pemilu damai.(Foto courtesy: IDEA/voaindonesia.com)

Sebagai birokrat yang mengurus isu-isu terkait Perempuan, Nelly mengakui lebih mudah membincangkan program di ranah ini dengan Politisi Perempuan. Di DPRD DIY saat ini ada sembilan Politisi Perempuan dari 55 kursi. Meski sedikit, kehadiran mereka cukup membantu dalam memperjuangkan isu-isu Perempuan di daerah.

“Sebagai Perempuan mereka lebih memahami apa yang diinginkan dan yang lebih tepat bagi Perempuan,” kata Nelly.

Delima Saragih, Manajer Program dari International Republican Institute (IRI) memandang penting Pendidikan Pemilih. Tujuannya adalah agar mereka mampu membuat keputusan lebih rasional dalam memilih Partai ataupun Caleg.

“Soalnya dalam sejumlah Polling, saat ditanyakan jika ada Caleg dengan kualifikasi sama, yang satu perempuan dan satu laki-laki, pilihan mereka masih lebih ke laki-laki,” kata Delima.

Delima menambahkan, ini adalah saat yang tepat untuk memberi kesempatan lebih banyak kepada Perempuan mengisi kursi di Parlemen. Anggota Parlemen adalah perpanjangan tangan masyarakat yang tidak hanya terdiri dari laki-laki tapi juga Perempuan. Berdasarkan DCT, ada lebih dari 30 persen Caleg Perempuan di setiap tingkat. Masing-masing memiliki kelebihan, kemampuan dan pengalaman yang dan tidak kalah daripada Caleg laki-laki.

“Keberpihakan terhadap Perempuan penting, demi terciptanya keadilan perwakilan semua kelompok masyarakat di Parlemen. Dan juga karena memang sudah ada calon-calon Perempuan yang bisa dicermati untuk kemudian dipilih,” ujarnya.

 Laporan: VoAIndonesia/ns/uh/Najid Lasale
Editor: Gilang

Komentar